ini dia cerpennya, semoga kalian suka:)
Untuk Luki
Pagi itu seperti biasa sebelum berangkat ke sekolah
Kara menyapa tetangganya tepatnya sahabatnya, Luki.
“pagi Luki! Ini aku Kara”
“oh, pagi juga Kara” jawab Luki yang sedang duduk di
teras rumahnya.
“Ki, aku mau berangkat ke sekolah ni.” Ujar Kara
kepada sahabatnya itu.
“oh ya sudah berangkat dong nanti kamu telat lo.”
“haha iya, apa salahnya sih basa basi bentar. Ya
udah, aku berangkat dulu ya, dah Luki!”
“iya dah Kara”
Luki adalah sahabat Kara yang buta karena kecelakaan
tahun lalu. Awalnya Luki sudah sangat putus asa dengan hidupnya ini. Namun
ketika dia sadar banyak orang yang membutuhkannya, ia mulai menghilangkan
pikiran negatifnya itu. Apalagi ia punya seorang sahabat setia, Kara. Kara yang
selalu menemaninya, mengajaknya bermain, belajar bersama, Luki benar-benar
bahagia bersama Kara. Ada kalanya Luki sangat merindukan saat-saat dia masih
bisa melihat, saat dia masih normal, tidak cacat seperti ini. Namun bagaimana
lagi, semuanya sudah terjadi dan menimpa dirinya.
Luki tiba-tiba mengingat masa kecilnya dulu bersama
Kara, ia mengingat awal perkenalan mereka.
“eh kamu anak mana?” ucap Kara melihat Luki bermain
di taman dekat rumahnya.
“aku pindahan, rumahku disana!” ucap Luki sambil
menunjuk rumahnya yang ternyata bersebelahan dengan rumah Kara.
“loh rumahmu disana? Bukannya itu rumahnya tante
Rita?” jawab Kara ragu karena pada awalnya rumah itu adalah rumah Tante Rita.
“nggak tau tuh, aku nggak kenal sama tante Rita.
Yang penting sekarang itu rumahku.” Ucap Luki.
“ih mentang-mentang pindahan punya rumah bagus. Nih
aku tandingin sama rumah pasirku.” Ujar Kara sambil mulai membuat rumah-rumahan
dari pasir.
“aku juga bisa kok buat rumah pasir yang lebih gede
dan yang lebih bagus!”
Merekapun mulai sering bermain bersama, sampai
sekarang, mereka bagaikan saudara yang selalu berbagi satu sama lain. Seperti
keadaan sekarang ini. Kara selalu berusaha berbagi dengan Luki yang buta.
***
“Luki, ini dicari Kara” kak Danny yang berdiri di
pintu kamar Luki memberitahukan kedatangan Kara.
“iya, suruh masuk saja.”
Kara lalu masuk ke kamar Luki. Kamar Luki sederhana,
tapi sangat menarik. Berbagai asesoris menghiasi kamar itu. Biasanya setiap
hari ada saja asesoris baru yang dimiliki Luki. Luki memang gemar mengumpulkan
asesoris. Sayangnya, untuk sekarang ini, ia tidak bisa melakukan kebiasaannya
itu lagi.
“Ki, sekarang aku pakai jam tangan baru loh. Coba
saja kamu bisa melihat, pasti kamu iri deh sama jam tanganku ini” curhat Kara
kepada Luki sambil memain-mainkan jam tangan barunya berharap sahabatnya itu
bisa melihat senyum riangnya walau semua itu tidak akan terjadi.
“ih kamu ya, nanti aku bakal beli jam tangan yang
lebih bagus dari itu.” Ujar Luki tidak mau kalah.
“buktikan ya? Besok aku tunggu, kalau tidak kau akan
tau akibatnya, haha!” ucap Kara bercanda.
“Luki,” ucap Kara di tengah-tengah candanya.
“apa?”
“sebulan lagi
aku mau ngajak kamu pergi”
“kemana? Jangan bilang kamu hanya mau mengajakku
main di teras depan” gurau Luki.
“ih kamu ini gak lucu tau, aku itu mau mengajak kamu
pergi ke taman yang baru di buat itu, di dekat perpustakaan kota. Tapi waktu
tamannya udah jadi ya, bulan depan”
“yah lama dong nunggunya.” Sesal Luki.
“iya sih, kita sabar aja nunggu.”
“iya tapi kamu janji ya beneran mau ngajak aku pergi
ke taman itu?”
“kapan sih aku pernah ingkar janji sama sahabatku
yang centil ini?” canda Kara.
“ah kaya kamunya nggak centil aja pamer jam tangan
baru ke aku”
“pamer jam tangan itu nggak centil, huu” ucap Kara
sambil memeletkan lidahnya.
Kedua sahabat itu terus bercanda sampai sore.
“Luki, aku pulang dulu ya, besok kesini lagi” pamit
Kara kepada sahabatnya itu.
“iya” jawab Luki singkat.
“Luki,” ucap Kara pelan.
“apa lagi?”
“aku cuma mau bilang semoga kamu cepat dapat retina
baru.”
“makasih Kara” ada saatnya kata-kata itu terasa
perih bagi Luki, aku juga berharap begitu
Kara, aku ingin bisa melihatmu lagi, dan semua yang ada di dunia ini.
Kara lalu pulang. Sesampainya di rumah iapun
kelelahan dan akhirnya tertidur lelap.
***
Hari yang melelahkan dengan teriknya matahari dan
sapuan udara bercampur debu. Siang itu Kara duduk sendirian. Luki sedang pergi
menginap ke rumah neneknya dan sekarang dia kesepian.
“Luki kapan sih pulangnya!” gumam Kara terlebih
kepada dirinya sendiri.
Kasian Luki. Pikir Kara. Andai saja Luki tidak buta,
pasti dia bebas melakukan apa saja bersama sahabatnya itu seperti dulu. Ke
sekolah bersama, belajar bersama, menonton bersama. Kara benar-benar merindukan
sosok sahabatnya yang dulu!
Sampai malam tiba, Kara masih kesepian. Ia duduk
sendirian sambil menatap langit dengan ribuan cahaya bintang. “andai saja aku
bisa memberikan retinaku ke Luki” gumam Kara. Lalu Kara menutup matanya sesaat,
membayangkan jika ia sudah besar nanti, masa depannya yang cerah. Lalu Luki?
Bagaimana dengan Luki? Kalau Luki belum bisa melihat mana mungkin dia bisa
bahagia di atas penderitaan sahabatnya. Sebahagia apapun ia suatu saat nanti,
ia akan tetap merasa separuh kesedihan jika Luki tidak bisa melihat dunia.
Tiba-tiba saja lamunan Kara buyar karena panggilan
mamanya.
“Kara?”
“iya, mama masuk aja” ucap Kara.
“Kara, besok Luki pulang. Tapi tadi mama dapat kabar
katanya Luki lagi demam tinggi dan harus dirawat di rumah sakit.”
“hah? Tidak terjadi apa-apa kan sama Luki ma?” ucap
Kara khawatir.
“iya, Luki cuma demam. Kamu tenang saja. Besok kita
jenguk Luki ya.” Ucap mama menenangkan Kara.
“iya ma, aku juga udah kangen sama Luki”
“iya, lebih baik sekarang kamu tidur, ini kan sudah
malam”
Siangnya sepulang sekolah Kara langsung menjenguk
Luki ke rumah sakit. Sesampai disana Kara langsung berbicara banyak kepada
Luki.
“Luki, kamu kok bisa demam gini sih? Pasti kamu
tidurnya malam-malam ya terus kamu kalau keluar nggak pake jaket. Kamu tau kan
di rumah nenekmu itu udaranya dingin. Pantas saja jadi sakit demam begini.”
Oceh Kara panjang lebar karena sangat mengkhawatirkan Luki.
“kamu ini,
aku sakit malah di omelin” ucap Luki sebal.
“aku ini ngomel-ngomel karena khawatir sama kamu
tau”
“sudah-sudah kalian jangan bertengkar begini dong,
kan nggak enak dengarnya.” Ucap Tante Lia mamanya Luki.
“Luki, mama pulang dulu ya, mama lagi banyak urusan.
Disini ada Kara yang jagain kamu.”
Di rumah sakit itu Kara merawat Luki dengan sangat
baik. Ia selalu mengajak Luki mengobrol dan mereka tidak pernah kehabisan
obrolan.
Karena khawatir dengan Luki, Kara pun menjenguk Luki
setiap hari menggantikan mama Luki jika sedang ada urusan. Menurutnya merawat
Luki sama sekali tidak melelahkan, ia bisa selalu bertemu Luki dan akan selalu
menemani sahabatnya itu suka maupun duka. Sampai akhirnya Luki sembuh dan
keluar dari rumah sakit.
Saat sampai di rumah
“sudah kubilang hanya demam biasa, kamu malah mengomeliku
waktu itu” ujar Luki mengungkit-ungkit kejadian saat ia baru masuk rumah sakit.
“iya iya aku tau. Saat itu kan aku sangat khawatir.”
“oh iya, ngomong-ngomong kamu jadi kan ajak aku ke
taman baru itu?” ucap Luki mengingatkan Kara tentang janjinya akan mengajak
Luki mengunjungi taman baru.
“tentu saja jadi. Tapi kan taman itu dibukanya masih
lama. Kamu tunggu saja, kita pasti jadi kok ke taman itu”
“iya, aku sudah tidak sabar.”
***
“yah, Luki pergi lagi. kali ini dia ada acara
keluarga, aku jadi tidak bisa melarangnya tidak usah ikut.” Gumam Kara. Hari
itu Luki memang pergi lagi untuk menghadiri acara keluarga. Kara kesepian lagi.
ia bingung mau melakukan apa tanpa sahabatnya itu, karena rasanya semua
membosankan.
“ah, aku pergi saja ke taman itu! Siapa tau taman
itu sudah dibuka lebih awal”
Kara pun pergi ke taman itu menggunakan sepedanya.
Ternyata taman itu dibuka minggu depan! Betapa senangnya Kara. Ia lalu dengan
semangat memberitahukan kepada Luki lewat telepon. Setelah menelpon Luki, Kara
pulang dengan sangat senang sampai hal itu terjadi saat Kara dalam perjalanan
pulangnya.
Kara kecelakaan.
Luka di tubuh Kara cukup parah. Tentu saja. Ia
tertabrak mobil dan terlempar begitu saja. Sekarang Kara sedang berbaring lemah
di tempat tidur pasien. Kara harus melaksanakan beberapa operasi dengan harapan
lukanya bisa sedikit sembuh. Entah itu bisa dijadikan harapan atau tidak. Untuk
sekarang ini saja Kara masih koma, dan akhirnya Kara siuman pada hari ketiga.
Dan Luki tidak tau tentang berita ini.
“Karaa?” panggil mama.
“maa?” ucap Kara sangat pelan seakan tidak bersuara.
“iya, Kara?”
“ma, aku tidak akan sembuh. Rasanya sakit sekali.
Seperti lumpuh”
“tenang nak, kamu ini baru sadar, jadi wajar kalau
kamu masih lemah” tak terasa air mata mengalir begitu saja di pipi mama.
“ma, nanti kalau aku memang benar-benar tidak bisa
sembuh, aku mau sumbangkan retina ku ke Luki ma”
“jangan bilang begitu nak, kamu pasti sembuh! Pasti
sembuh! Kamu harus percaya diri” ucap mama dengan nada serak karena tidak bisa
menahan tangisannya.
“tiga hari lagi janjiku sama Luki ma, mau ke taman.
aku yakin hari itu Luki sudah bisa melihat. Tolong mama jangan beritakan
tentang kecelakaanku ini kepada Luki ma, sebelum hari itu datang, biar Luki
yang menyadarinya sendiri. Ma, aku minta tolong mama tuliskan sebuah surat
untuk Luki.”
Mama masih menangis mendengar kata-kata Kara itu,
tapi ia terpaksa mengikuti apa yang diinginkan Kara. Keinginan terakhirnya.
Tiga hari kemudian
Pagi ini Luki bahagia sekali. Sekarang dia bisa
melihat lagi! dua hari yang lalu Luki mendapat panggilan kalau ada orang yang
mau mendonorkan retinanya ke Luki. Luki senang bukan kepalang!
“Kara pasti senang melihatku sudah tidak buta lagi.
tapi kenapa Kara tidak kelihatan ya dari kemarin? Saat aku pulang saja dia
tidak ada di rumah. Ah iya aku baru ingat! Aku kan ada janji ke taman bersama
Kara hari ini. Ya sudah lebih baik aku ke rumahnya saja, siapa tahu Kara sudah
ada di rumah”
Luki lalu ke rumah Kara dan Kara tetap tidak ada di
rumah. Mama Kara bilang kalau Kara menyuruh Luki ke taman pagi itu. Uh Kara
memang menyebalkan! Luki yakin Kara pasti sudah tau ia bisa melihat
sampai-sampai tega mendahului Luki ke taman itu. Akhirnya Luki pergi ke taman,
ia mencari tempat duduk yang dimaksud mama Kara. Katanya Kara ada di tempat
duduk itu. Tapi tidak ada siapa-siapa yang ditemuinya di tempat duduk itu
selain sebuah surat beramplop, dan sekarang menjelaskan semuanya kepada Luki.
Tidak ada Kara dan hanya sebuah surat, “untuk Luki”
Luki,
aku sudah tau sekarang kamu sudah tidak buta lagi. aku tau sekarang kamu sudah
bisa melihat dan kamu pasti ingin memberitahunya kepadaku tapi aku selalu tidak
ada di rumah.
Luki,
sekarang kamu pasti akan bingung membaca surat ini, kamu pasti berpikir aku
sedang bercanda dan bersembunyi di balik pohon di taman. kamu salah Luki, aku
sedang tidak bersembunyi, aku memang benar-benar tidak ada.
Tak terasa air mata Luki menetes. Apa maksud semua
ini? Bagaimana bisa terjadi?
Semua
berawal saat aku pulang dari taman ini, setelah aku menelponmu itu. ingat?
“Ki! Tamannya dibuka minggu depan! Ingat ya kita
datangnya pagian biar dapat tempat duduk!”
“iya, kamu juga janji ya bangun pagi awas kalo kamu
bohong”
“iya, pastilah aku dateng ke taman ini pagi-pagi.
Sama kamu. Tenang aja”
Maaf
Ki, ternyata aku nggak tepatin janji.
Air mata Luki semakin deras mengalir.
Luki,
aku kasi retinaku ke kamu karena aku tau, aku nggak bisa jadi sahabat yang baik
untuk kamu. Aku ninggalin kamu di waktu yang tidak tepat. Saat kamu pasti
sangat membutuhkanku karena keadaanmu yang buta. Jadi aku pikir aku bisa
memberikan retinaku sebagai gantinya agar aku tidak terlalu terbebani pergi
tanpa berhasil membuat sahabatku sembuh kembali.
Aku
senang kamu bisa melihat dunia lagi. bukannya itu yang kamu inginkan?
Sekali
lagi maaf Luki, kamu sahabat terbaikku.
Kara
Pada akhirnya Luki semakin mengerti, alasan kenapa
kemarin-kemarin ia tidak bertemu Kara. Dan sekarang, ia bisa melihat dunia
karena Kara. Ia bisa menikmati kembali indahnya dunia karena Kara walau sakit
yang ia rasakan karena kehilangan Kara. Terima kasih Kara. Aku tidak akan
melupakanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar