ini novel buatanku sendiri. semoga kalian suka.
LAST
TEARS
“ayah!!”
berkali kali aku pingsan dan menangisi ayah yang sudah tenang di alam surga.
Ayahku memang memiliki penyakit yg cukup membuatnya terus menderita. Kini,, aku
harus mengikhlaskan kepergian ayah walau berat bagiku.
Satu bulan
setelah kepergian ayah, aku merasa kesepian. Dan tiba-tiba saja terdengar suara
teriakan bunda “Killa! Turun nak!” . Akupun segera menuruni tangga. Ternyata
bunda tidak sedang sendirian, ia bersama anak kecil yg tersenyum kepadaku.
“Killa ini Tiara
, anak Bude Ayu.”
“Bude Ayu siapa
Bun?”
“kerabat bunda
sejak kecil, ia sengaja menitipkan Tiara kepada Bunda karena sebentar lagi ajal
menjemputnya. Ia tak ingin Tiara hidup sebatang kara”
“oh, memangnya
ayahmu kemana Tiara?” kini aku bertanya kepada anak yg ternyata bernama Tiara
itu.
“aku tidak tau kak,
Bunda nggak pernah bercerita tentang ayah. Ia selalu berkata itu hal yg tidak
penting”
“oh, ya sudah”
“Killa, sekarang
kamu tidak akan kesepian. Karena Tiara sudah Bunda anggap anak Bunda sendiri.
Dia akan menjadi adikmu” jelas Bunda kepadaku. Aku tersenyum senang karena dari
dulu aku memang ingin mempunyai adik. Apalagi perempuan.
Semalaman ini aku
sudah akrab dengan Tiara. Menurutku Tiara adalah anak yg cantik, namun sedikit
cerewet . dan dilihat dari cara bicara Tiara, sepertinya dia anak yg tidak bisa
jaga rahasia.
Pagi ini , aku tak
sabar sampai di sekolah. Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan.
“pagi kak Killa!”
sapa Tiara saat aku duduk di meja makan.
“pagi juga”
“oh iya kak!
Sekarang kan hari pengumuman kelulusan, Tiara penasaran liat nilai kakak”
“nilaiku pasti
bagus. Asal kamu tau, aku ini anak berprestasi dari masa SD”
“oh ya? Aku tidak
menanyakan hal itu”
“kalau gitu ya
nggak usah nyahut!”
“hei! hei! kenapa
jadi bertengkar. Sudah sekarang kalian makan dulu” lerai Bunda.
Entah mengapa
hari ini aku kesal sekali dengan Tiara. kenapa dia bawel sekali! Apa dia merasa
dirinya pintar. Ah sudahlah! Itu bukan urusanku.
“ayo antarkan aku
terlebih dahulu mang Udin. Kalau kak Killa setelah aku saja” ucap Tiara saat
akan berangkat sekolah.
“enak banget sih
kamu! Sekolah kamu tu jauh tau. Bisa-bisa nanti aku telat! Aku nggak terima!”
“Bunda! Bunda!”
“kenapa Tiara?”
“Bunda, bolehkah
aku diantar terlebih dahulu? Sekolahku memang jauh tapi aku tidak mau telat
karena pasti sebentar lagi bel di sekolahku bordering. Boleh ya Bunda?”
Kali ini aku
semakin kesal dengan Tiara. Ternyata dia anak yang menyebalkan. Dia mau menang
sendiri. Ingin rasanya ku tutup mulutnya dengan cabe.
“baiklah Tiara.
Maaf ya Killa, kamu harus mengalah dulu dengan adikmu.”
“huuh !!!!”
gerutuku.
Saat sampai di
sekolahnya Tiara, ternyata sekolahnya sangat sepi. Apakah benar Tiara terlambat
masuk. Berarti dia terlambat mengambil rapornya. Tapi, kenapa kelihatannya dia
santai-santai saja.
“thanks ya mang
Udin” ucap Tiara saat turun dari mobil.
***
“mang, Tiara itu
tadi terlambat tapi kok dia santai saja?” tanyaku kepada mang Udin.
“tadi itu dia
tidak terlambat. Tadi mang ngeliat ada anak lain yang juga baru masuk. Tadi itu
sepi karena neng Tiara terlalu pagi berangkat sekolah”
Huuh!! Berarti
tadi dia membohongi Bunda agar dapat menang 1-0 denganku. Sialan!! Dia memang
anak nakal.
Saat sampai di
sekolah , aku sudah disambut oleh sahabatku, Elin.
“Killa!”
“Elin! Eh aku
belum terlambat kan?”
“belum , tapi
hampir saja”
“oh ya sudah. Yuk
ke kelas!”
Saat
berbincang-bincang di kelas, tiba-tiba ada guru masuk.
“pagi anak-anak”
“pagi bukk!”
“Sekarang , ibu
tidak mengumumkan secara langsung kepada kalian tentang hasil kelulusan, tapi
kalian dapat melihatnya di mading dekat ruang guru, dan mading dekat perpustakaan.
Terima kasih”
Aku dan
teman-temanku pun segera keluar kelas. Aku dan Elin memilih pergi ke mading
dekat perpustakaan. Ternyata disana sudah ramai sekali. Aku dan Elin hanya bisa
menunggu sampai sedikit sepi. Maklum , aku dan Elin kurang suka
berdesak-desakan.
“eh , udah agak
sepi tuh!”
“ya udah ayok!”
saat kami mencari-cari nama kami, “yeeee!!!! Aku lulus” teriak Elin yang sempat
mengagetkan ku.
“mana mana?”
“nih, Elina
Viona.. LULUS”
“oh iya, selamat
deh. Eh bantuin nyari namaku dong”
“iya deh tenang”
“eh, ini ni
Sakilla Kirana dan kamu…….. LULUS!” aku pun kaget dan melihat, ternyata benar!
Aku lulus.
“asiik! Akhirnya
kita jadi anak SMA!”
Teeet!!!! Bel
berbunyi, aku dan Elin segera masuk ke kelas. Ini pasti pembagian nilai ujian
sementara. “Sakilla Kirana!” aku segera maju ke depan dengan langkah mantap.
“selamat ya, kamu lulus” puji bu guru. “iya buk, terima kasih” balasku.
Setelah selesai
aku berpamitan pada guru-guru. Rasanya senang sekali, tapi, andai saja Ayah ada
disini ia pasti akan bangga sekali padaku. Tapi sudahlah , aku ikhlaskan saja
karena aku yakin Ayah sudah melihat hasil ini.
”La, coba liat
nilaimu!”
“tunggu, aku juga
belum liat. Sini deh kalau mau liat”
“wah keren,
nilaimu 9 semua!”
“iya nih, aku gak
sabar kasi liat ke Bunda”
“kalau kamu Lin,
aku juga mau liat”
“aku juga 9 semua
cuma ada satu yang 8”
“itu sudah hebat
kok.”
***
“Bundaaa!!!”
“Killa,
bagaimana?”
“aku lulus Bunda.”
“hebat! Coba
Bunda lihat”
“wahh ! nilai
kamu bagus sekali! Bunda bangga sekali sama kamu.”
“iya dong Bunda.”
“kak Killa, coba
aku lihat nilainya” tiba-tiba saja Tiara datang. Kali ini aku yang akan menang 1-0 dari si bawel ini.
“menurutku ini
biasa saja, karena nilai raporku juga seperti ini”
“aku tidak
menanyakan hal itu!” kini aku dapat memutar balik kalimat yang tadi pagi ia
katakan padaku, lega rasanya.
“terserah , aku
hanya ingin kak Killa tau” jawab Tiara.
“Bun, daftarkan
Killa di SMA favorit ya,”
“iya, memang
Bunda berfikiran seperti itu.”
Aku senang dan
sangat senang. Kini , Ayah akan tersenyum kepadaku.
***
Hari pertamaku
memakai seragam putih abu-abu, aku sangat senang. Selain sekarang aku sudah SMA
, sekarang aku juga satu sekolah lagi dengan Elin. Walau beda kelas. Sekarang
aku sudah mempunyai beberapa teman baru , antara lain Fanny dan Fiola. Mereka
anak kembar. Sebenarnya sih banyak tapi aku hanya baru akrab dengan dua orang
itu. Kulihat Elin juga memiliki beberapa teman baru.
Bagiku, pelajaran
SMA cukup sulit , tapi kalau punya kemauan belajar , pasti pintar deh!. Aku
berharap , semoga aku bisa mengerti semua pelajaran SMA agar aku bisa menjadi
murid paling pintar di sekolah favorit ini.
“woy!! Bengong
aja. Kamu nggak beli buku? Mumpung lagi sepi tuh!.” Ucap Elin mengagetkan ku.
“oh ya? Dimana?”
“di koperasi
lah.”
“harganya sekitar
berapa?”
“nggak tau juga.
Tapi katanya sekitar 80an yang paling murah”
“wah , lagi nggak
ada uang nih. Besok aja deh, aku mau minta uang di Bunda dulu.”
“iya aku juga.
Besok samaan yaa?”
“siip!”
***
“Bun, aku minta
uang dong. Udah mulai beli buku pelajaran nih”
“berapa kamu mau
minta?”
“500 ribu dulu.
Nanti kalau kurang aku minta lagi”
“ya udah. Ini
ambil”
“makasi Bunda”
“kak Killa, kakak
yakin uang itu pas? Menurutku itu pasti lebih!”
Huuh! Lagi lagi
Tiara ngomong yang nggak jelas. Yang bikin aku kesal.
“bukan urusan
lo!” jawabku dengan ketus.
“kak Killa bohong
ya agar dapat uang lebih? Atau kak Killa sengaja minta uang tapi ternyata di
buat untuk pergi ke mall”
“eh! Kamu bisa
diam nggak sih! Kenapa kamu curigaan sama aku! Kalau kamu nggak percaya, besok
kamu bisa Tanya ke Elin temanku. Dan jika sisa uang ini lebih, akan kumasukan
semuanya ke mulutmu!!” aku langsung lari ke kamar tanpa menghiraukan teriakan
Bunda. Amarah ku sudah tak bisa ku pendam. Aku benci menpunyai adik angkat
seperti Tiara!.
tok tok tok!
“sibuk!”
“Killa sayang,
ini Bunda”
Akupun segera
membukakan pintu untuk Bunda. Ku persilahkan Bunda duduk di sofaku.
“kamu kesal ya
dengan Tiara? Kamu nggak usah ladenin dia. Dia masih anak kecil yang bicaranya nggak
bisa dijaga. Bunda yakin, jika sudah besar seperti kamu, dia akan mengerti”
“aku tau dia itu
masih kecil Bun, tapi barukali ini aku menemukan anak kecil yang benar-benar
menyebalkan. Apa sih yang diajarkan Bude Ayu ke dia? Kok dia sampai kaya gitu!”
“Nak, Tiara itu
tidak pernah dapat perhatian dari orangtuanya. Bahkan, kemarin dia cerita ke
Bunda kalau dia benci kepada kedua orangtuanya, dia tidak mau menjenguk
Bundanya sendiri yang sedang kritis. Dia ingin memiliki ibu seperti Bunda. Oleh
karena itu dia selalu mencuri perhatian Bunda saat bersama kamu.”
“aku tetap nggak
suka kalau dia tetap seperti itu. Aku ingin Tiara yang biasa saja, tidak
tertekan karena ulah kedua orangtuanya!”
“Bunda mengerti
perasaanmu, kamu yang sabar ya Killa”
“makasi Bunda,
tapi Bunda harus janji untuk tidak melupakanku jika sedang bersama Tiara.”
“tentu saja
Killa, kamu kan anak kandung Bunda.”
Akupun larut
dalam pelukan Bunda. Rasanya nyaman sekali, apalagi kalau Ayah juga ada di
sampingku saat ini.
“Bunddaaa…!!!
Cepat kesini!” teriak Tiara.
“dengar kan
Bunda, dia buat ulah lagi. Ku mohon Bunda jangan menghampirinya.”
“tapi Nak…”
“Bunda! Ku tau
Bunda pasti mendatangi kak Killa. Kenapa Bunda diam disini? Bukannya aku
memanggil Bunda?” ucap Tiara yang tiba-tiba sudah ada di depan pintu.
“eh lo nyamber
aja! Udah sana turun!”
“Killa, Tiara,
kalian jangan bertengkar lagi. Lebih baik kalian berdamai.”
“udah ah Bunda,
kalau sekarang aku berdamai dengan kak Killa, besoknya pasti akan bertengkar
lagi. Lebih baik sekarang Bunda ikut aku. Ayoo!”
Aku kesal,kesal
dan sangat kesal dengan Tiara. Dia merebut Bunda dariku.
Ya tuhan.. kau
sudah mengambil Ayahku. sekarang, kau biarkan aku kesepian karena Bunda sudah
milik Tiara. Apalagi yang akan kau ambil dariku? Jika kau memang menakdirkan
aku untuk kesepian, ambil saja nyawaku. Aku ikhlas. Karena ku yakin aku akan
lebih tenang menyusul Ayah. Setelah larut malam, akhirnya aku terlarut dalam
dinginnya malam.
***
“Killa! Kamu bawa
uangnya nggak?” sapa Elin seraya bertanya padaku pagi ini.
“bawa dong.
Sekarang aja yuk!”
“ayok!”
Pagi ini aku
sudah membeli buku pelajaran yang lumayan banyak. Tapi masih beberapa yang belum
aku beli. Sisa uangnya sedikit, hanya 15 ribu rupiah. Tapi kali ini aku akan
tetap mengembalikannya ke Bunda. Aku ingin membalas perbuatan Tiara.
Tak disangka!
Benar-benar tak disangka! Hari ini yang menjemputku bukanlah mang Udin.
Melainkan Bunda dan anak menyebalkan, Tiara!
“kak Killa!”
teriak Tiara memanggilku dari luar mobil. Aku tau, dia pasti lagi cari
perhatian banyak orang. Akupun langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di
belakang. Sebenarnya aku ingin sekali duduk di depan, tapi Tiara sudah
mendahuluiku.
“Killa, kamu
sudah beli buku Nak?” ucap Bunda mengawali pembicaraan.
“sudah Bun”
jawabku singkat.
“kamu sudah lengkap
beli bukunya? Kalau belum nanti Bunda kasi lagi uangnya.”
“pastilah Bunda
sudah lengkap. Uangnya kan banyak dan pasti sisanya juga ada” sambung Tiara
yang sok tau. Kali ini aku diam saja. Aku masih malas bicara.
“Tiara, tidak baik berkata
seperti itu, kamu seharusnya menghargai kak Killa sedikit. Bunda kan bertanya
kepada kak Killa, bukan kamu”
“biarkan saja
Bunda, dia memang anak kurangajar yang tak tau diri!” balasku dengan mantap.
Kali ini aku senang karena bisa mencaci maki Tiara.
“Killa, itu juga
tidak baik, seharusnya kata-katamu di jaga sedikit.”
“aku membencinya
Bunda! Dia menyebalkan, suka menganggu hidupku!”
“kak Killa
ternyata tak menghargaiku! Aku benci kak Killa!”
“sudah! Sudah!
Jangan bertengkar! Bunda tidak suka!”
Aku dan Tiara
langsung diam. Ketika sampai rumah aku langsung mendekati Tiara dan memberikan
sisa uang saat aku beli buku pelajaran tadi . tanpa berkata apapun.
***
Esoknya setelah
pulang sekolah………
“huh panasnya! Bi
Inah, tolong buatkan aku sirup dong! Yang dingin ya!” ucapku kepada bi Inah.
“siap Non”
balasnya.
“ini Non
sirupnya.”
“makasi ya bi. Oh
iya, kok sepi sih di rumah, Bunda sama Tiara mana?”
“sedang pergi
belanja Non.”
“lho kok mereka
nggak nunggu aku dulu sih. Ini pasti ulah Tiara.”
“iya Non, Non
Tiara yang memaksa Nyonya pergi tanpa nunggu Non Killa.”
“tuh kan! Dasar!
Ya udah bik, aku mau ke kamar dulu ya.”
“iya Non”
Saat masuk ke
kamar, tiba-tiba handphone ku bunyi. Ada SMS dari Elin.
From : Elin
La, ke rumahku
yuk! Bantuin aku krjain tugas. Ntar aku kasi mntk es jeruk dehh! Yayaya! Siip!!
Wah, lumayan sih,
daripada melongo sendirian di rumah, mending ke rumahnya Elin. Oke deh aku
balas.
To : Elin
Oke deh Lin!
Boleh juga! Waiting me!!
Akupun bergegas
pergi ke rumah Elin. Tak lupa aku berpesan kepada mang Udin dan bi Inah untuk
memberitahu Bunda kalau aku pergi ke rumahnya Elin.
“mang Udin !
anter aku ke rumahnya Elin.”
“siap Non”
***
“ah ini dia udah
nyampe” sapa Elin kepadaku.
“iya dong”
“ya udah nih
minumannya”
Akhirnya aku pun
membantu Elin mengerjakan tugas. setelah selesai mengerjakan tugas aku dan Elin
lapar, kami pun membeli bakso yang kebetulan lewat di rumahnya Elin. Setelah
makan bakso, entah kami lelah atau kenyang, akhirnya aku dan Elin pun tertidur.
“La Killa!!
Bangun udah malem! Killa bangun!!” ku dengar suara yang menyuruhku bangun
sambil mengoyang-goyangkan tubuhku.
“malem jam berapa
sih Lin?” tanyaku kepada Elin yang ternyata menyuruhku bangun.
“udah jam 8
malem! Cepet bangun gih!!”
Akupun langsung
kaget dan bangun, aku segera menelpon mang Udin, tapi nggak ada jawaban. Duh
gimana sih mang Udin itu!
“La, kalau mang
Udin nggak bisa jemput kamu, nanti biar kakakku saja yang antar kamu pulang.”
Kata Elin.
“nggak ngerepotin
nih?”
“ya ampun, nggak
lah. Kamu kan sahabatku.”
“makasi ya Lin.”
“iya, ya udah cepet
sana!”
Akupun pulang
diantar kakaknya Elin. Jalanan malam ini agak macet. Jadi kemungkinan aku
sampai di rumah jam setengah 9. Saat sampai di rumah..
“makasi ya kak
udah mau antar aku pulang.” Ucapku berterima kasih kepada kak Radit.
“iya dek, lain kali
jangan ketiduran lagi ya!”
“ah kakak ini
bisa saja!” kataku sambil memukul-mukul kak Radit.
“ya udah kak, aku
masuk dulu. Hati-hati di jalan kak.”
“iya dek.”
Saat aku masuk ke
dalam rumah, tiba-tiba Bunda dan Tiara menatapku dengan tatapan aneh.
“kamu kemana saja
ha?! Pulang sampai kemalaman gini!” bentak Bunda kepadaku.
“Bun, tadi aku ke
rumahnya Elin. Tadi kan aku sudah berpesan kepada mang Udin dan bi Inah untuk
memberitahukan ke Bunda kalau aku pergi ke rumahnya Elin.”
“bohong! Kalau
kak Killa pergi ke rumah teman, apa Bunda pernah mengizinkan pulangnya
malam-malam? Kak Killa pasti berbohong!” ucap Tiara ikut-ikutan memarahiku.
“hei! tadi itu
aku ketiduran di rumahnya Elin karena kelelahan membantu Elin mengerjakan tugas
sekolah! Karena itu aku pulang kemalaman!”
“DIAM!! Jangan
ribut lagi di depan Bunda! Killa, kenapa kamu berbohong kepada Bunda? kalau
kamu memang pergi ke rumahnya Elin, lalu kenapa kamu pulang dengan seorang pria
yang tak di kenal! Kamu berbohong kan! Bunda sudah melarang kamu untuk berpacaran,
apalagi dengan pria yang tak di kenal, yang usianya pasti lebih tua dari kamu!
Tapi kamu tetap tidak peduli dengan apa yang Bunda katakan!”
“Bunda, dia itu
bukan pacarku tapi dia itu ka…”
“sudah!! Bunda
sudah benar-benar kecewa dengan kamu Killa, kamu mengkhianati Bunda! sekarang,
Bunda akan menghukum mu! Bunda tidak akan mengizinkanmu pergi, terkecuali ada
kepentingan sekolah!”
“maaf Nyonya,
bolehkah saya berbicara tentang…”
“diam!! Kamu
tidak berhak bicara! Kamu telah membohongi saya! Dasar pembantu!”
Aku segera
berlari ke kamar.
“hiks.. hikss…”
tak terasa air mataku mengalir begitu deras. Teganya Bunda kepadaku. Apa yang
ia katakan tadi? Ia kecewa denganku? Ia menghukum ku? Sejak kapan Bunda kecewa
denganku? Sejak kapan Bunda berubah? Mengapa ia berubah? Dimana Bunda yang
lembut dan baik hati serta selalu mempercayaiku? Apa yang ada di perasaan Bunda
sekarang? mengapa? Mengapa? Mengapa Bunda?!!!!
Aku menangis dan
terus menangis. Ayah!! Andai saja Ayah ada disini , memelukku dengan penuh
kasih sayang. Ayah, Bunda berubah Ayah. Apa yang harus ku lakukan? Bunda sudah
tidak mempercayaiku lagi. Semua berubah ketika Ayah pergi meninggalkanku. Ayah
, temani aku untuk beberapa menit saja, temani aku untuk menghapus air mataku,
untuk melepas kerinduanku tentang Ayah. Aku merindukanmu Ayah.
“Killa! Belajar!
Jangan terus-terusan menangis seperti anak cengeng! Bunda tidak mau
mendengarnya. Sangat ribut!” teriak Bunda yang semakin membuatku sedih.
“ahahaha! Bunda
coba lihat ini, aku cantik ya memakai gaun ini. Ini karena Bunda yang
membantuku memilih. Makasi ya Bunda. Aku sayang Bunda.” Ucap Tiara dengan lantang.
“iya Nak, kamu
cantik. Bunda bangga.” sambung Bunda.
Mendengar
percakapan itu, hatiku semakin sakit dan sakit. Aku rindu menjadi gadis kecilmu
Bunda. aku ingin kau memelukku dan berkata “Bunda menyayangimu Nak”
Malam ini , aku
curahkan semua isi hatiku ke buku diary pemberian Bunda, ya aku masih
menyimpannya. Akupun mulai menulis……
Dear Diary
Hari ini aku
berantakan sekali!! Bunda memarahiku habis-habisan. Dia sudah berubah, setiap
aku menangis, ialah yang selalu menghapus air mataku. Namun sekarang??
jangankan mau menghapus air mataku, saat aku menangis ia malah semakin
membentakku.
Ya tuhan,
Aku tidak pernah
bermaksud untuk membohongi Bunda, aku tidak pernah berani berdusta kepadanya
apalagi mengkhianatinya. Aku lakukan ini karena aku menyayanginya, karena aku
tidak ingin ia sedih atau kecewa karenaku. Tapi mengapa Ya tuhan,, ia malah
salah paham tentangku , ia malah mengganggapku mengkhianatinya bahkan ia
berkata bahwa ia sudah kecewa denganku. Apakah aku salah kepadanya? Kesalahan
apa yang ku perbuat? Ya tuhan, tolong sadarkan Bunda bahwa aku hanya ingin
perhatiannya dan aku menyayanginya.
Writer, Killa
Akupun tertidur
lelap setelah menulis diary. Besoknya…
“Killa, kamu lagi
ngapain sih?! Cepetan gih!! Kamu udah di tungguin masih aja lama!” bentak
Bunda.
“iya Bun, Killa
masih lama ni, Tiara berangkat duluan aja” balasku. Aku tidak mau mencari
masalah lagi dengan Tiara karena dia pasti akan minta pertolongan Bunda.
Hari ini aku
benar-benar bingung! Kemana buku-buku pelajaran ku? Aku rasa , kemarin
menaruhnya diatas meja ini. Tapi mengapa sekarang tidak ada. Astagaa!! Ini
sudah jam 7 pagi lebih! Bisa-bisa aku telat!.
“Killa kamu
mencari apa?! Kenapa sampai jam 7 lebih kamu belum berangkat? Kamu mau telat
dan di hukum? Bunda tidak mau datang ke sekolahmu hanya untuk mengurus urusan
tidak penting!!” ucap Bunda kepadaku.
“Bunda, aku lagi
nyari buku pelajaran. Kemarin aku sudah menaruhnya di atas meja belajar, tapi
sekarang tidak ada. Aku bingung Bunda”
“kamu mau telat??
Kalau tidak mau ya sudah berangkat saja. Urusan buku kamu bisa selesaikan di
sekolah. Kan kamu bisa pinjam buku teman atau membeli yang baru. Sudah cepat
sana!!”
Akupun segera
mencium tangan Bunda dan lari keluar. Saat ku lihat jam tangan , ternyata
benar! Aku sudah telat.
“mang Udin! Agak
cepet dong!!” kataku kepada mang Udin saat di dalam mobil.
“iya sabar non”
Saat sampai di
sekolah aku segera keluar dari dalam mobil. Namun ternyata pintu gerbang
sekolahku sudah di tutup.
“loh neng kok
baru dateng? Udah telat satu jam lo” kata pak satpam kepadaku.
“iya aku tau,
tolong bukain dong!”
“nggak bisa neng,
peraturannya kan nggak boleh dibukain kalau udah telat lebih dari setengah jam.
Nah sekarang eneng telat satu jam jadi nggak boleh neng”
“aduh tolong dong
pak! Sekali ini aja, aku janji deh besok-besok nggak akan telat lagi”
“aduh tetap nggak
bisa neng”
“Killa!!” teriak
Fiola dari dalam sekolah.
“Fio!! Tolongin
aku dong!” Fiola langsung lari mendatangiku yang masih terkunci dari luar
sekolah.
“kamu ternyata
telat. Aku kira kamu itu emang nggak masuk hari ini.”
“iya Fio aku
telat. Gimana nih aku nggak boleh masuk sekolah”
“pak Ujang, kasi
Killa masuk dong. Please!! Kita berdua janji deh bakal lakiuin apa yang pak
Ujang mau. Yayaya!!”
“aduh, ya udah
deh neng. Pak Ujang Tanya guru BK dulu”
“ya udah cepet
sana!” Fiola langsung menyuruh pak Ujang pergi. Beberapa menit kemudian, pak
Ujang datang bersama Bu guru Hani. Guru BK yang terkenal galak.
“kamu anak kelas
1 kan?” ucapnya mengawali percakapan denganku.
“ii.. iya buk”
jawabku gugup.
“baru kelas 1
sudah berani terlambat. Kamu kan tau ini sekolah internasional! Kamu seharusnya
sadar kalau disini tidak ada yang boleh terlambat apalagi sampai 1 jam!”
“iya buk, maafkan
saya. Saya janji tidak akan terlambat lagi.”
“ya sudah kamu
harus pegang janji kamu! Nah sekarang kenapa temanmu ini masih disini? Apa yang
kamu lakukan? Apa kamu ingin saya menghukum kamu karena tidak mengikuti
pelajaran?”
“aduh saya hampir
lupa buk, maafkan saya tadi sebenarnya habis dari wc. Ya sudah sekarang saya ke
kelas. Permisi buk!” ucap Fiola setelah menyadari ternyata ia seharusnya
kembali ke kelas.
“buk, tolong hari
ini saja izinkan saya mengikuti pelajaran di kelas walau saya terlambat.”
Ucapku memelas ke buk Hani.
“baiklah, kali
ini saya akan mengizinkan. Tapi kamu harus ke ruang BK untuk menulis namamu di
daftar siswa yang pernah melanggar peraturan sekolah. Dan saat keluarmain nanti
kamu akan saya hukum untuk membersihkan kamar mandi putri di lantai satu. Kamu
mengerti?!!”
“baiklah buk,
saya mengerti” hufft!! Akhirnya boleh masuk juga. Tapi saat keluarmain nanti
aku pasti menjadi bahan ejek-ejekan karena nanti aku akan membersihkan kamar
mandi. Tapi nggak papa lah, yang penting Bunda tidak di panggil ke sekolah
untuk mengurusku.
Saat sampai di
depan kelas, perasaan gugup, takut, malu, gelisah bercampur aduk menjadi satu.
Akupun mulai mengetuk pintu kelas…
Tok… tok… tok…
“masuk!” sahut
pak Amar dengan suara khasnya. Memang hari ini ada jam untuk pelajaran
Matematika. Akupun segera membuka pintu. Tanganku terasa bergetar saat akan
masuk ke dalam kelas membayangkan apa yang akan di lakukan pak Amar jika aku
ternyata telat.
“Killa?!” teriak
Fanny dan Fiola bersamaan.
“kamu Sakilla
nomor absen 25 itu kan? Pantas saja saat saya mengabsen tidak ada, ternyata
kamu ini terlambat!”
“maafkan saya
pak”
“ya sudah,
sekarang kamu akan saya hukum karena terlambat. Kamu harus mengerjakan
soal-soal di papan tulis dan kamu harus mengerjakan lagi yang ada di buku paket
halaman 27-33! Sekarang cepat duduk!”
Akupun segera
duduk di tempat dudukku. Aku bingung, apa yang akan ku pakai mengerjakan
sedangkan buku-buku ku hilang. Hampir semuanya, bahkan tidak ada yang tersisa.
Yang tersisa hanyalah buku diary karena seingatku aku selalu menaruh buku diary
di bawah kasurku. Dan aku yakin ada yang mengambil buku-buku ku saat aku tidur
kemarin malam.
“Sakilla! Kenapa
kamu hanya mengeluarkan pulpenmu? Dimana bukumu?!”
“buku-buku saya
hilang pak. Izinkan saya pergi ke koperasi untuk membeli buku. Saya benar-benar
minta maaf pak”
“astaga!!
Sebenarnya keinginan kamu bersekolah disini itu apa? Tadi kamu sudah terlambat, sekarang kamu tidak membawa
buku. Bapak benar-benar kecewa dengan kamu.”
“sekali lagi saya
minta maaf pak, buku-buku saya hilang begitu saja”
“kalau begitu
sekarang kamu minta dua lembar kertas di temanmu untuk menulis. Ini, kamu pakai
dulu buku saya. Lain kali, saya tidak akan mengizinkan siswa mengikuti
pelajaran saya kalau ia tidak membawa buku.”
“iya pak!!” jawab
aku dan teman-temanku serempak.
“teeet!!!”
Ternyata ada bel,
ini saatnya istirahat. Tapi itu hanya anak-anak yang tidak terlambat tadi pagi.
Sedangkan aku harus menerima hukuman buk Hani saat jam istirahat. Akupun
bergegas pergi ke gudang kebersihan untuk mengambil alat-alat yang akan di
gunakan membersihkan kamar putri di lantai satu.
“lho Killa? Kamu
ngapain disini? Ke kantin yuk sama temenku nih!” sapa Elin saat dia melihatku
ada di depan gudang kebersihan.
“nggak Lin, aku
lagi sibuk. Kamu berdua aja dulu sama temenmu. Nanti kalau sempat aku nyusul”
jawabku dengan nada lemas.
“beneran nih
nggak papa? Emangnya kamu mau ngapain?”
“udahlah, kamu
nggak usah pikirin aku” ucapku kepada Elin sambil membawa alat-alat yang di
butuhkan untuk membersihkan kamar mandi putri. Kurasa Elin pasti bingung dengan
tingkahku ini. Tapi untuk kali ini aku hanya ingin sendiri setelah semua
pekerjaanku selesai.
“wah! Ada
cleaning service yang baru nih!” ejek salah satu kakak kelas cowok saat aku
lewat di depan mereka.
“iya nih, pake
baju seragam SMA lagi.” Sambung yang lainnya.
Akupun segera
berlari tanpa menghiraukan kakak kelas yang memang menyebalkan itu.
“Killa…” sapa dua
orang yang kurasa itu adalah Fanny dan Fiola.
“Killa kamu
menangis??” ucap mereka lagi. Saat aku mengangkat kepalaku, air mataku sudah
mengalir dengan derasnya.
Mereka segera
memelukku.
“Killa, kamu jangan
nangis lagi ya. Kita janji deh akan temenin kamu waktu kerja nanti. Sekarang
kita ke wc putri yuk. Nanti keburu bel” ucap Fiola yang mengetahui aku akan di
hukum untuk membersihkan kamar mandi putri.
“ma..kasiii.. ya
Fiiooo… Fannnnyyyyy” ucapku terbata-bata.
Saat membersihkan
kamar mandi putri, aku melihat Elin
berjalan sambil tertawa bersama teman-temannya. Hatiku sangat sedih mendapati
Elin ternyata memang tidak memikirkan apa yang terjadi padaku. Kini ia sudah
memiliki teman-teman baru dan melupakan sahbat lamanya. Aku hanya bisa sedih
dan sedih. Semua orang di dekatku, yang selalu menemaniku saat suka maupun
duka, sekarang tidak hadir untuk menghiburku. Mereka sibuk dengan orang baru di
sekitarnya. Yang kumiliki sekarang hanya Fanny dan Fiola. Mereka teman baruku
yang sangat mengerti aku. Akhirnya pekerjaanku pun selesai. Aku, Fanny, dan
Fiola bergegas menuju kantin.
“teeettt!!!!” bel
tanda istirahat berakhir berbunyi.
“yah, bel nih.
Kita nggak dapet makan deh” ucap Fanny.
“ya udah deh Fan,
kita minum aja. Kamu bawa bekal air minum kan?” sambung Fiola.
“aku bawa kok. O
iya Killa, kamu pasti haus juga kan? Nanti kamu bisa minta air di kita”
“iya, makasi ya.
Ya udah kita ke kelas yuk!”
Setelah kami
minum, guru pelajaran Biologi datang. Kali ini aku sedikit lega karena
pembelajaraannya tidak memakai buku pelajaran. Dan pak guru memberikan soal
lewat papan tulis.
Bel tanda pulang
berbunyi, aku pun segera keluar untuk menunggu jemputan. Setelah beberapa siswa
di jemput, sekolah mulai sepi. aku bingung kenapa mang Udin belum datang
menjemputku.
Sampai satu jam
tapi mang Udin belum datang juga. Aku sedikit kesal dibuatnya. Beberapa saat
kemudian aku melihat sebuah mobil parkir di luar sekolah, setelah ku perhatikan
ternyata itu bukan mobilku. Huh! Padahal aku berharap sekali kalau yang datang
itu adalah mobilku.
Beberapa siswa
keluar dari laboratorium Biologi. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti
extrakulikuler olimpiade biologi. Diantara mereka kulihat Fanny dan Fiola. Ya
mereka memang pintar sehingga bisa ikut exschool itu.
“lho Killa? Kok
masih di sekolah? Kamu belum di jemput?” Tanya Fiola ketika melihatku masih di
dalam sekolah.
“iya nih Fio, aku
nggak tau kenapa mang Udin belum datang menjemputku.”
“kalau gitu kamu
pulang sama kita aja yuk! Mumpung kita udah di jemput.” Ajak kedua anak kembar
itu.
“apa nggak
ngerepotin?” tanyaku.
“ya nggak lah.
Udah yuk!” kata Fiola sambil menarik tanganku.
Aku pun masuk ke
dalam mobil. Ketika aku masuk, Fanny dan Fiola langsung di sambut baik oleh
orang yang menjemputnya.
“lho , ini siapa?
Teman kalian?” Tanya orang itu yang ternyata adalah ayah Fanny dan Fiola.
“iya pa, ini
namanya Killa.” Jawab Fanny.
“oh, perkenalkan
saya ayahnya Fanny dan Fiola. Kamu bisa panggil saya dengan sebutan Om Hendy.
Ngomong-ngomong Killa ini mau mampir dulu di rumah Om?”
“nggak Om, aku
hanya numpang diantar pulang. Karena sepertinya sopirku nggak bisa jemput aku.
Maaf ya Om kalau ngerepotin” kataku.
“oh tidak apa-apa
Om akan antar kamu pulang. Rumah kamu dimana?”
“rumahku di
perumahan Sriwijaya gang Ubur-ubur no.4”
“oh kalau gitu Om
akan antar kamu pulang dulu.”
“terima kasih ya
Om”
“iya sama-sama”
Melihat sosok Om
Hendy, aku jadi teringat ayah. Andaikan saja ayah masih ada di dunia ini,
hidupku tidak akan hancur seperti ini. Sejak ayah meninggal aku selalu merasa
kesepian. Tapi aku yakin, walaupun ayah sudah meninggal, ia tetap mengawasiku
dan memberikan doa terbaik untukku.
“Killa, apa benar
ini rumahmu?” ucap Om Hendy membangunkan lamunanku.
“oh!! Iya Om, ini
rumah saya.”
“wah rumahmu
besar banget Killa. Pasti kamu betah tinggal di rumah yang besar, bagus lagi”
ucap Fiola. Padahal nyatanya, bagiku rumah ini membuatku menderita.
“ah kamu bisa
saja Fio.” Jawabku ngawur.
“kita kapan-kapan
pasti mampir kok ke rumahmu.” Ucap kedua anak kembar itu.
“iya, ya udah aku
masuk dulu. Daaa!!”
***
Saat masuk ke
dalam rumah, aku melihat bi Inah dengan wajah khawatir.
“bi, kok mukanya
aneh kaya gitu?” tanyaku.
“non, maaf ya
tadi mang Udin nggak bisa jemput non. Nyonya yang melarang. Katanya non bakal
di jemput sama pacar non. Dan maaf non, kalau boleh saya tanya, apa yang tadi
nganter non pulang itu pacar non?”
“astaga bi!! Aku
tu nggak punya pacar! Kenapa Bunda bisa berpikiran kaya gitu. Yang nganter aku
pulang tadi itu Om Hendy, ayahnya Fanny dan Fiola. Dan di dalam mobil aku tidak
hanya sama Om Hendy, tapi aku juga sama Fanny dan Fiola.”
“maafin saya non,
bukan saya yang berpikiran seperti itu.”
“iya bi, aku tau.
Aku mau ke kamar dulu bi. Tolong nanti bawain makanan sama minuman ke kamarku”
“baik non”
Aku pun segera
masuk ke kamar. Tak beberapa lama, bi Inah pun datang membawa makanan dam
minuman.
“ini non makanan
dan minumannya”
“makasi ya bi,
ngomong-ngomong Bunda sama Tiara jalan-jalan lagi ya?”
“iya non, mereka
pergi ke supermarket.”
“coba aja dulu,
yang nemenin Bunda belanja itu aku. Tapi sekarang Bunda berubah jadi cuek
banget sama aku. Aku pengen Bunda kaya dulu lagi.”
Saat aku
berbicara, tiba-tiba bi Inah menangis.
“bi, kenapa bibi
jadi nangis?”
“nggak non, bibi
cuma kasian aja sama non.”
“andai aja bibi
tau perasaanku sekarang, aku kangen banget sama ayah bi.”
“bibi juga kangen
sama Tuan non.”
“tapi bi sekarang
aku bingung mau ngelakuin apa.”
“non hanya cukup
bersabar. Itu akan membuat non lebih tenang.”
“tapi bi, kalau aku
terus menerus sabar, aku akan lebih muda di injak-injak sama kelakuannya
Tiara.”
“bibi akan
lindungin non.”
“makasi ya bi.”
“iya non. O iya,
bibi mau kasih tau non tentang buku-buku non yang hilang itu.”
“emang bibi tau
kenapa bisa hilang? Ceritain dong bi!”
“sebenarnya yang
ngambil buku-buku non itu adalah orang rumah, yaitu non Tiara.”
Aku sempat
terdiam ketika bi Inah berkata bahwa Tiara yang menyembunyikan buku-buku ku.
Apa yang ia mau sehingga ia melakukan itu kepadaku?
“non, sebenarnya
non Tiara itu iri sama non”
“dia iri kenapa
bi? Bukannya sekarang dia yang kuasain rumah ini?”
“dia hanya mau
non Killa di benci oleh nyonya. Itu karena dia ngerasa non adalah parasit di
rumah ini. Non Tiara pernah cerita ke bibi, katanya dia itu nggak suka kalau
non selalu di perhatiin sama nyonya. Dia mengganggap non itu cuma cari
perhatian ke nyonya sehingga dia ngelakuin hal-hal yang buat non sakit hati.”
“bi, seharusnya
dia nyadar, yang cari perhatian ke Bunda itu bukan aku tapi dia!! Hikss!!”
“udah non, non
nggak usah nangis. Non harus tabah ya, nanti nyonya pasti sadar kalau anaknya
itu non Killa bukan non Tiara.”
“iya bi.” Bi Inah
benar, beberapa saat pasti Bunda sadar kalau aku menyayanginya.
Akhirnya, bi Inah
pun keluar dari kamarku. Setelah bi Inah keluar, aku sempatkan menulis di buku
diary ku.
Dear Diary
Hari ke hari ku
lewati dengan kesedihan karena Bunda sekarang lebih perhatian sama Tiara. Bunda
sekarang tidak mempedulikanku. Sekarang aku tau siapa yang menyembunyikan
buku-buku ku. Aku sangat berterima kasih kepada bi Inah karena berkat dia aku
jadi tau semua tentang Tiara, dia juga membantuku mencarikan buku-buku ku yang
hilang ini. Ya tuhan, andaikan Bunda tau kalau yang salah itu adalah Tiara,
bukan aku. Dan andaikan Bunda tau kalau Tiara sudah mempengaruhinya hingga ia
melupakan anaknya sendiri yaitu aku. Ayah, ayah pasti tau perasaanku yang
sekarang. aku sedih ayah, Bunda melupakanku. Aku hanya bisa berharap, suatu
hari, Bunda tau perasaanku.
Writer, Killa
Setelah menulis
akupun segera tidur karena hari ini aku sangat lelah setelah di hukum.
Saat aku bangun
tidur, waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Akupun bangun dan
bergegas untuk mandi.
“kak Killa baru
bangun, sore banget kak!!” sapa Tiara saat aku keluar dari kamarku. Aku hanya
diam tidak membalas pertanyaannya. Aku bosan berdebat dengannya. Karena pada
akhirnya aku juga yang kena marah.
Setelah mandi,
aku segera ke ruang makan. Saat aku sampai di ruang makan ku lihat Bunda dan
Tiara sedang mengobrol sambil tertawa-tawa. Aku hanya diam, aku sudah tidak
sanggup untuk berkata apa-apa.
“ini nyonya, non
Killa, non Tiara makanannya.” Kata bi Inah sambil membawakan makanan malam ini.
“Bunda, aku mau
dong ayam gorengnya kak Killa! Ayamnya besar banget.” Ucap Tiara. Aku tau dia
pasti ingin membuatku marah lagi. Aku diam saja tidak menanggapinya.
“Killa, kamu
harus mengalah dengan Tiara. Sekarang kamu beri dia ayam goreng itu.” Ucap
Bunda yang sudah ku tebak dia akan menyuruhku mengalah.
Tanpa permisi,
Tiara langsung menukarkan ayam punyaku dengan ayam miliknya.
“aku makan di
kamar!” ucapku sambil membawa makananku. Aku tidak mau makan bersama Tiara.
Selesai makan,
aku langsung menaruh bekas piring di dapur. Saat di dapur aku melihat bi Inah
sedang mencuci piring.
“bi, nih punyaku
sekalian.” Ucapku ke bi Inah.
“iya non, taruh
aja disini.” Jawab bi Inah.
“bi, apa
buku-buku ku udah ketemu?”
“maaf non, bibi
nggak sempat nyariin. Tadi kerjaan bibi banyak banget.”
“ya udah deh bi,
nggak papa. Tapi sekarang aku mau nanyain ke Tiara apa dia liat buku-buku ku.
Aku duluan ya bi!”
“iya non” akupun
segera meninggalkan bi Inah dan segera pergi ke kamar Tiara. Sebenarnya aku
sangat malas mengunjunginya tapi daripada besok aku telat lagi karena nyariin
buku ku yang hilang, lebih baik aku tanya ke Tiara.
Tok.. tok.. tok!!
“siapa ya?” ucap
Tiara dengan nada yang sangat cempreng.
“Killa” jawabku
dengan sangat malasnya.
“masuk aja kak!”
Akupun masuk dan
segera duduk di samping Tiara yang sedang bermain dengan laptopnya.
“sebenarnya aku
males banget buat nyari kamu, tapi karena takut besok telat lagi, lebih baik
aku tanya kamu.” Ucapku mengawali pembicaraan.
“aku nggak ngerti
kak! Kak Killa nggak nyambung banget sih!”
“udah nggak usah
cerewet. Sekarang aku cuma mau tanya, apa kamu liat buku-buku pelajaranku? Kemarin
malam dia hilang”
Tiara sempat diam
, dia langsung tertawa dengan liciknya.
“ahahaha!! Kak
Killa ini bagaimana sih! Aku saja tidak tau buku kak Killa yang mana sekarang
kak Killa malah tanya aku! Bukannya kak Killa selalu melarangku menyentuh
barang-barang kak Killa! Kak Killa ini seharusnya berpikir dulu! Jangan asal
nuduh!”
“aku memang
melarangmu menyentuh barang-barangku. Tapi bukannya kamu selalu ingin memiliki
semua barang-barangku sehingga kamu pasti bisa melakukan apa saja untuk
mendapatkannya! Seperti ayam goreng tadi!” jawabku dengan nada yang cukup keras
sehingga Bunda kaget dan datang ke kamar Tiara.
“Killa, ada apa
ini?! Kenapa kamu membentak Tiara?!” ucap Bunda.
“Bunda, dia sudah
salah! Dia menyembunyikan semua buku-buku ku sehingga aku tidak bisa belajar
malam ini! Dia iri kepadaku Bunda!”
“kak Killa kenapa
menyalahkan ku? Seharusnya aku yang bilang kalau kak Killa iri kepadaku!”
“cukup!!” teriak
Bunda.
“Bunda, aku tidak
mau memiliki adik tiri seperti Tiara. Aku benci Tiara!” aku langsung lari ke
kamar. Aku tidak peduli Bunda marah kepadaku namun sekarang aku puas sudah bisa
mengungkapkan perasaanku yang benci terhadap Tiara.
Walau aku puas,
tapi aku masih bingung. Jika aku mencari-cari buku ku lagi, mustahil akan
ketemu. Kalau aku beli lagi, apa yang akan ku katakan terhadap Bunda. dia pasti
tidak memberikanku uang. Ini semua karena anak bawel itu!!
Sekarang aku
sudah memutuskan untuk mengambil semua uangku yang ada di celengan. Walau tak
seberapa tapi akan ku usahakan. Aku akan meminta bantuan bi Inah untuk
menjelaskan semua itu kepada Bunda.
***
Paginya di
sekolah........
“hai Killa!” sapa
Fiola dan Fanny saat aku memasuki kelas.
“hai juga!! Oh
ya, makasi ya tumpangannya yang kemarin.” Jawabku.
“iya, lagipula
kita senang kok kemarin karena ada kamu kita jadi nggak bosan.” Jawab Fiola.
“iya Fio.
Ngomong-ngomong kalian mau nggak nganterin aku ke koperasi?”
“iya dong.
Sekarang aja yuk!”
Selesai membeli
buku pelajaran, aku kembali ke kelas bersama Fanny dan Fiola.
“kenapa kamu
nggak sekalian beli semuanya kalau memang buku kamu hilang semua?” tanya Fiola.
Aku memang lebih akrab dengan Fiola daripada Fanny.
“i.. iya sih aku
memang sengaja Fio, aku malas beli semua buku hari ini. Kan nanti tasku bisa
jadi berat.” Jawabku. Padahal ada alasan lain yang tidak mau ku katakan.
“iya juga ya,”
jawab Fio.
Bel pelajaran
pertama berbunyi. Kini aku dapat belajar menggunakan buku.
Saat
istirahat....
“Fio, Fanny, aku
ke kantin bareng kalian ya.” Ajakku kepada anak kembar itu.
“boleh, yuk!”
Saat di kantin
aku melihat Elin bersama temannya yang kemarin ku lihat. Sepertinya sekarang
Elin sudah punya geng. Karena ku lihat setiap Elin pergi selalu bersama orang
itu saja.
“kamu kok
melamun? Hoyy!!” teriak Fiola kepadaku.
“ohh!!! Nggak
papa kok!. Kamu udah pesen makanan Fio?” tanyaku.
“dari tadi tau!
Udah cepet sana pesen. Aku tunggu di meja nomor 3!”
Akupun memesan
makanan. Saat itu aku menyempatkan diri untuk lewat di meja Elin.
“Lin, aku mau
ngomong.” Ucapku di depan teman-teman Elin.
“hah? Maksud lo
tu apa? Nggak ada yang namanya Lin disini!! Hahaha! Dia salah orang!!” sahut
salah satu teman Elin dan semuanya ikut tertawa kecuali Elin.
“guys... dia itu
menyapaku.” Ucap Elin.
“oh gituu! Tapi
maaf ya, Elin dan yang lainnya lagi makan dan nggak bisa di ganggu. Lagian
nggak penting juga kayaknya lo buat Elin.”
Aku kesal dengan
perkataan teman Elin itu. Ingin rasanya ku siram mukanya dengan soto.
“huuh! Dasar
cewek-cewek gila!!” ucapku lalu pergi meninggalkan mereka. Terdengar mereka
memanggil-manggilku untuk kembali namun aku malas menghiraukan mereka.
“kamu ngapain
tadi kesana La?” tanya Fio kepadaku.
“ngeladenin orang
nggak jelas.” Jawabku kesal.
“maksud kamu geng
The Girls itu?” tanya Fanny dengan
nada meyakinkan.
“tau ah!! Aku
kurang tau soal geng itu. Yang ku tau sekarang aku kesal dengan temannya Elin
yang berambut pendek itu!” ucapku sambil menunjuk temannya Elin yang tadi
mengejekku.
“itu kan Liliana
kak,” ucap Fiola kepada Fanny.
“iya, itu memang
Liliana Fio.” Jawab Fanny kepada Fiola.
“oh,,,jadi
namanya Liliana. Dia teman sekolah kalian yang dulu ya?” tanyaku.
“iya , dia memang
temanku dan Fiola sewaktu SMP. tapi aku dan Fiola tidak terlalu akrab
dengannya, karena aku dan Fiola tidak menyukai sifatnya.” Jelas Fanny.
“tapi kak, kenapa
dia bisa masuk ke SMA ini? Bukannya kemarin saat ujian masuk dia tidak lulus?
Aku tidak melihat namanya.” Ucap Fiola yang membuatku semakin bingung.
“dia itu
menggunakan bina lingkungan Fio.”
“haah??!! Yang
bener?? Berarti dia nggak pintar dong?” tanyaku keheranan.
“ya,, begitulah.
Dia memang bodoh sejak SMP. Tapi sangat pintar menyombong dan mengejek orang.”
Akupun langsung
berniat mendatangi Liliana untuk membalasnya. Tapi Fanny melarangku.
“Killa!! Udahlah
kamu ngapain cari masalah? Nanti bisa-bisa Liliana marah besar dan kamu akan
bertengkar hebat dengannya. Bagaimana nanti kalau kamu masuk BK dan di hukum?
Lalu orangtuamu dipanggil ke sekolah. Apa kamu mau seperti itu?” cegah Fanny
kepadaku.
Aku lalu diam dan
memikirkan kata Fanny.
“iya sih, kamu
benar juga. Makasi ya udah menasehatiku.” Ucapku kepada Fanny.
“iya, ya udah
makan yuk!”
***
Saat pulang
sekolah, aku tidak menyangka kalau ternyata aku akan bertemu lagi dengan
pembuat masalah itu. Liliana!!
“hoy!! Lo yang
tadi berontak sama gue itu kan?!! Sini lo!” teriak Liliana ketika melihatku.
Aku hanya menoleh
sedikit, lalu diam tidak mengikuti permintaannya. Aku tidak mau hal yang
dikatakan Fanny terjadi jika aku bertengkar dengan Liliana.
“hoy! Lo tuli
ya!! Gue bilang sini lo!”’ ucap Liliana sekali lagi. namun aku tetap tidak mau
mengikutinya.
“okee!! Kalo lo
emang nggak mau denger apa kata gue, gue sendiri yang bakal datengin lo!” ucap
Liliana dan ia langsung itu berjalan ke arahku.
Aku tetap
mendiamkannya. Namun tiba-tiba Elin datang mencegah Liliana.
“Liana! Kenapa
kamu begitu nggak suka dengan Killa?!” ucap Elin melindungiku. Aku tetap diam,
aku tidak mau berbicara. Biarkan mereka yang menyelesaikannya. Jika mereka
benar-benar bertengkar maka aku akan melerainya.
“ngapain lo ngelindungin
sampah itu? Lo harusnya ngedukung gue! Sini lo!” teriak Liliana membentak Elin.
“ngg... kali ini
aku nggak bisa ngedukung kamu. Dia sahabatku, walau gimanapun, tugasku adalah
ngelindungin dia.” Ucap Elin menunduk. Aku sangat terharu mendengarnya, selama
ini aku hanya berpikir kalau Elin tidak memikirkanku. Tapi ternyata di balik
semua itu, dia masih peduli denganku.
“tapi kan gue
temen lo! Gue yang selama ini ngurus lo! Coba kalo gue musuhin lo, bisa-bisa lo
jadi sampah kayak dia!” kali ini Liliana benar-benar marah. Akupun juga begitu.
“hey! Kamu boleh
saja menghinaku sampah, tuli atau apapun yang kamu mau! Tapi kamu tidak boleh
menghina sahabatku!! Ayo Elin! Mulai sekarang iblis itu bukan temanmu lagi!
cuiih!” ucapku sambil menarik Elin keluar.
“dasar cewek
gila!! Awas kalian! Lihat saja apa yang akan kulakukan pada kalian sampah!”
teriak Liliana yang masih saja menghina aku dan Elin.
Saat keluar
sekolah, ternyata aku sudah di jemput. Akupun segera masuk mobil tanpa berkata
apapun kepada Elin.
“Killa! Sakilla
Kirana!” teriak Elin sebelum aku pergi. Akupun menoleh ke arahnya.
“kamu nggak marah
kan sama aku?” ucap Elin.
Aku hanya
tersenyum menanggapinya dan mobilku pun berjalan pergi.
“makasi ya Killa,
kamu memang teman terbaikku!!!” teriak Elin ke arah mobilku.
***
“mang Udin kok
tumben bisa jemput aku? Kemarin mang Udin di larang ya sama Bunda karena Bunda
marah kepadaku? Kalau sekarang mang Udin diizinkan menjemputku, berarti Bunda
tidak marah lagi dong sama aku?” tanyaku di dalam mobil kepada mang Udin.
“ah non ini
ada-ada saja. Mana mungkin nyonya marah sama non. Palingan dia cuma mau non
mandiri aja.” Jawab mang Udin santai.
“oh gitu ya, tapi
menurutku Bunda marah kepadaku. Kelihatan tau kalau Bunda itu lagi marah sama
aku.”
“non nggak usah berpikir
seperti itu. Mang yakin nyonya nggak seburuk itu.”
“iya deh,
terserah mang Udin aja.”
Saat sampai di
rumah, aku langsung menyisihkan sebagian uangku untuk membeli buku lagi. aku
yakin, kalau aku bisa mengikuti sifat ayah yang rajin menabung, aku pasti bisa
membeli apa yang saat ini sangat kubuthkan.
***
Pagi hari di
sekolah...
Saat aku sampai
di sekolah, aku berbincang-bincang tentang Liliana bersama Fanny dan Fiola.
Tiba-tiba salah satu temanku memanggilku. “Killa, ada yang nyari kamu tuh di
luar!”
Akupun segera
keluar, dan ternyata yang mencariku itu adalah Elin.
“Killa , sorry ya
kalau selama ini aku cuek sama kamu. Dulu aku takut diganggu oleh Liliana kalau
aku tidak mau berteman dengannya. Maaf ya.” Ucap Elin minta maaf padaku.
“nggak papa, aku
juga udah lupain soal itu kok. Tapi aku minta mulai sekarang kamu jauhin
Liliana. Kalau dia ganggu kamu, bilang saja kepadaku.”
“iya, makasi ya
Killa.”
“oh iya,
memangnya kenapa sih dia suruh kamu berteman dengannya?”
“bukannya
menyombong sih, tapi waktu dia tau aku anak orang kaya, dia memaksaku berteman
dengannya.
“ya sudah, kamu
nggak usah takut lagi ya.”
“iya Killa.”
***
Tak terasa, 11
bulan sudah aku belajar di sekolah baru. Sebentar lagi aku akan menghadapi
ujian kenaikan kelas.
“non Killa, maaf
mengganggu. Non dipanggil nyonya untuk berkumpul di ruang keluarga.” Kata bi
Inah masuk ke kamarku.
“ya udah bi, aku
mau turun.”
“iya, permisi
non.”
Saat di ruang
keluarga...
“begini
anak-anakku, Bunda memanggil kalian karena Bunda bermaksud menasehati kalian.
Kemarin Bunda mengetahui kalau sebentar lagi ujian akhir semester untuk para
pelajar, jadi Bunda harap kalian belajar tekun mulai sekarang dan nilai-nilai
kalian harus membuat Bunda bangga. Bunda harap kalian berdua mendapat peringkat
1 tahun ini.” Ucap Bunda panjang lebar.
“untuk Killa,
Bunda sangat berharap kamu masuk 3 besar di kelasmu. Bunda tidak mau kamu
mendapat peringkat 9 seperti ujian kemarin. Kamu tau? Susah payah Bunda
menyekolahkanmu di sana tapi kamu hanya mendapat peringkat 9. Sangat mengecewakan.”
“iya Bunda, aku
akan berusaha sebaik mungkin. Kemarin itu aku tidak bisa belajar karena tidak
punya buku.”
“ya sudah. Untuk
Tiara, Bunda sangat bangga denganmu. Keberhasilanmu mendapatkan peringkat 1 di
kelas membuat Bunda semakin mempercayaimu. Bunda harap kamu bisa mempertahankan
keberhasilan itu.”
“makasi ya Bunda,
aku bisa karena Bunda selalu menemaniku. Aku harap Bunda terus menemaniku agar
aku nyaman saat belajar.”
“ya sudah, sekarang
kembali ke kamar kalian masing-masing dan persiapkan diri untuk menghadapi
ujian kenaikan kelas.”
“iya Bunda,
jawabku serempak dengan Tiara.”
Kata-kata Bunda
untuk Tiara masih terngiang di pikiranku. Kenapa Bunda membanggakan Tiara
sedangkan aku anaknya sendiri, layaknya dibuang dan tidak di urus. Tapi nanti
aku akan membuktikan kepada Bunda kalau aku bisa masuk 3 besar di kelas bahkan
aku akan membuktikan bahwa aku bisa mendapat peringkat 1 di kelas.
Kalau biasanya
aku lebih sering membaca novel, tapi kali ini aku akan terus membaca buku
pelajaran. Bahkan aku tidak pernah bermain laptop atau handphone terkecuali ada
keperluan penting. Sepertinya Bunda suka dengan perubahanku ini. Walau dia
hanya diam dan tidak mau menanggapi.
Tak terasa, ujian
kenaikan kelas tinggal 1 minggu lagi. kini aku terus belajar dan terus belajar.
“kak Killa...”
tiba-tiba ku dengar suara Tiara dari balik pintu.
“kak, aku masuk
ya..” Tiara pun masuk dengan senyumannya yang sok imut. Sepertinya dia ada
perlu karena tumben sekali dia mampir di kamarku.
“ngapain kamu kok
tumben sekali nyari aku?” tanyaku judes.
“sorry deh kak
kalau aku ganggu kak Killa, tapi aku boleh minta tolong nggak? aku nggak ngerti
sama pertanyaan ini” ucap Tiara sambil memperlihatkan pertanyaan di sebuah
buku.
“katanya kamu ini
pintar, selalu mendapat peringkat 1 di kelas. Tapi kenapa pertanyaan mudah ini
saja kamu masih bertanya padaku. Kan kamu yang mengejekku bodoh, berarti aku
tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Lebih baik kamu bertanya saja kepada orang
yang menurutmu pintar atau tanyakan saja kepada otakmu yang jenius itu!”
tolakku panjang lebar.
“aduh kak Killa
ini jangan judes gitu dong, aku bilang begitu kan cuma bercanda.”
“sudah sana kamu
pergi, jangan ganggu orang bodoh sedang belajar!”
“huuh! Sombong
sekali!!” ucap Tiara dan ia keluar sambil memukul pintu kamarku keras-keras.
Biarkan saja kamu
bilang aku sombong, ini kulakukan karena aku tidak suka kalau kau merebut Bunda
dariku.
***
Tak terasa, hari
pertama ujian kenaikan kelas akan dimulai sebentar lagi. aku terus membaca-baca
buku. Aku sangat bertekad membuat Bunda bangga.
Teeett!!!
Bel! Itu pertanda
guru akan masuk dan membagikan soal ujian kenaikan kelas.
“selamat pagi
anak-anak!”
“selamat pagi
buk!!”
“apa kalian sudah
siap menhadapi soal-soal ini?”
“siap bu!!”
“kalau begitu
keluarkan alat tulis kalian dan taruh semua tas di depan kelas!!”
Aku dan
teman-temanku langsung menaruh tas di depan kelas. Saat kertas ulangan di
bagikan, aku membaca doa sebelum menjawab soal-soal ujian ini.
Saat pulang
sekolah..
“Killa!!” sapa
Elin kepadaku.
“hai Elin!!
Gimana tadi? Apa kamu bisa menjawab dengan lancar?”
“ya begitulah,
hanya beberapa yang membuatku bingung. Kalau kamu?”
“sama sepertimu.
Tapi kita harus yakin jawaban kita itu benar.”
“tentu saja!”
Saat sampai di
rumah, aku langsung memeriksa jawabanku.. dan ternyata jawaban-jawaban yang aku
jawab benar, aku sangat senang. Akupun kembali belajar untuk ujian selanjutnya.
***
Hari ini adalah
hari terakhir ujian, aku fokuskan diriku agar nilaiku tidak rendah.
“huuh, akhirnya ujiannya
selesai juga.” Ujar Fiola kepada aku,Elin,Fanny saat kami berjalan keluar
kelas.
“iya, aku puas
banget sama semua jawabanku dari awal ujian.” Ucapku.
“wah, yakin
banget nih!!” ledek Elin padaku.
“iya dong,
daripada kamu! Yakin sama jawaban yang salah!” jawabku.
Kamipun terus
bercanda sambil menunggu jemputan.
***
Saat sampai di
rumah, aku curahkan isi hatiku ke buku diary ku.
Dear Diary
Hari ini aku lega
karena ujian kenaikan kelas sudah selesai. Aku juga sangat senang karena aku
yakin, saat ujian, hanya sedikit jawabannya yang aku ragukan. Tapi syukurlah,
aku bisa menjawabnya.
Writter, Killa
“permisi non,
tadi non dipanggil sama nyonya di suruh kumpul di ruang keluarga.”
“oh iya bi, aku
mau ganti baju dulu. Nanti aku akan ke bawah.”
“iya, permisi non.”
Setelah ganti
baju, akupun turun ke bawah.
“baik, sekarang
Bunda Cuma akan menanyakan, bagaimana ujian kemarin? Apakah kalian bisa
menjawabnya?” ucap Bunda mengawali pembicaraan.
“aku dulu yang
bicara!!” teriak Tiara yang ingin menjawab duluan.
“ya sudah,
bagaimana Tiara?”
“pastinya aku
tidak punya kesulitan saat menjawab soal Bunda. Aku yakin jawaban ku benar
karena semua yang ku pelajari keluar.”
“baiklah, Bunda
bangga denganmu. Bunda harap kamu bisa mendapat peringkat 1 lagi.”
Tiara pun
tersenyum.
“bagaimana
denganmu Killa?” kini Bunda bertanya padaku.
“aku senang Bunda
karena aku yakin jawabanku benar. Yah, walaupun hanya ada beberapa yang aku
ragukan.”
“Bunda harap
benar seperti itu. Bunda tidak ingin kamu mendapat peringkat 9 lagi.”
Tiba-tiba ku
dengar Tiara tertawa kecil. Huuh anak itu!! Dia terlalu meremehkanku. Lihat
saja nanti, aku akan mendapat peringkat 1 di kelas!
***
Hari ini aku
mendengar bahwa besok adalah pembagian rapor. Berarti besok aku bisa mengetahui
aku mendapat peringkat berapa di kelas.
Dan........
Waktu yang di
tunggu pun tiba. Aku menunggu di kelas dengan perasaan resah, aku tidak sabar
mendengar pengumuman ini.
Teettt!!!!
Bel berbunyi,
semua siswa langsung duduk di tempat duduknya masing-masing.
“selamat pagi anak-anak!”
sapa seorang guru yang masuk ke kelasku.
“selamat pagi
bukk!!” balas siswa di kelasku serempak.
“sebelum ibu
bagikan rapor siswa di kelas ini, marilah kita berdoa menurut keyakinan
masing-masing. Berdoa mulai!”
“berdoa selesai!
Baiklah anak-anak, ibu akan mengumumkan bahwa ada satu orang di kelas ini yang
harus tinggal kelas. Bu guru harap untuk yang tinggal kelas, bisa memaklumi
karena inilah hasil ujian kemarin. Dan bu guru harap untuk tahun selanjutnya,
tidak ada yang tinggal kelas lagi.” jelas bu guru wali kelasku panjang lebar.
Aku bingung, setauku, di kelasku tidak ada murid yang bodoh sampai-sampai tahun
ini tidak naik kelas.
“apa bisa bu guru
mulai?” tanya bu guru ketika teman-temanku ribut membicarakan tentang satu
orang murid yang tidak naik kelas.
“bisa buk!”
jawabku dan teman-temanku serempak.
“baiklah, bu guru
akan membagikan rapor dan hasil ujian kenaikan kelas! Yang di panggil silahkan
maju ke depan! Aulya Anasthasia!!” ternyata rapor di bagikan menurut absen
kelas, berarti kemungkinan aku nomor 3 dari yang terakhir. Huuh! Sangat lama!!
“Fanny Emily
Stevany!!”
“Fiola Emilda
Stevany!!”
Nama dua
sahabatku sudah dipanggil. Saat kulihat mereka membuka rapor, terlihat senyum
yang sangat melebar di wajahnya. Itu pertanda mereka naik kelas.
“dan yang
terakhir, Sakilla Kirana!!” aku sempat bingung, kenapa namaku dipanggil paling
akhir? Padahal kan aku absen nomor 25.
“maklumi ya nak,
ibu harus menuliskan seperti itu di rapormu.” Ucap bu guru yang semakin membuatku
bingung.
Saat kubuka
raporku........ Astagaa!!! Apakah ini raporku??!! Apakah wali kelasku tidak
salah tulis??!! Tidak!! Tidak mungkin!! Aku sudah berjuang keras dan aku yakin
jawabanku saat ujian itu pasti benar dan tidak mungkin aku ini TINGGAL KELAS!!!
“nah, itulah
hasil kalian, bu guru minta maaf jika bu guru memiliki kesalahan atau terlalu
keras saat mengajar kalian, ibu minta maaf sebesar-besarnya. Sekian dan terima
kasih!” ucap bu guru meninggalkan kelas.
“wee!! Siapa yang
tinggal kelas?” tanya ketua kelasku.
“Killa? Gimana
hasil rapormu? Pasti kamu mendapat peringkat diantara 3 besar. Aku peringkat 3
loh! Dan Fanny peringkat 2. Yang peringkat 1 pasti kamu!” ujar Fiola kepadaku,
aku hanya diam sambil menahan air mataku yang sudah mau keluar.
“hey, yang
peringkat 1 itu aku Fio!” ujar teman laki-laki ku yang bernama Ryan.
“oh, sorry deh!
Aku kan nggak tau!”
“Killa kok kamu
diam saja sih? Kamu nggak dapat peringkat 10 besar? Aduh jangan di masukin ke
hati dong, lagipula kamu harus senang karena bisa naik kelas dan besok kita
akan menjadi kakak kelas untuk anak-anak yang baru masuk sekolah di sini.” Ucap
Fio.
“siapa bilang aku
naik kelas?!! Sudahlah! Aku mau pulang!!” ucapku dan langsung lari meninggalkan
kelas. Saat itu semua teman-temanku langsung menoleh kepadaku tapi aku tidak
peduli.
Hari ini aku
benar-benar tidak menyangka. Kenapa aku bisa tidak naik kelas? Aku kan sudah
belajar dan kuyakin semua yang ku jawab saat ujian itu benar.
Tiba-tiba ada sms
dari Elin. Akupun membacanya.
From : Elin
La, kamu tau
nggak? yang dapet peringkat 1 di kelasku itu Liliana. Trus tdi dy di tawarin
tes masuk aksel di sekolah ini karena nilai2ny tinggi, tp dengan sokny dy nolak
n blng klo dy pngen blajar normal aja. Sok bgt kan dy itu! Oiya, aku peringkat
4 di kelas. Km peringkat brp La? Aku yakin kamu masuk 3 besar dan pasti di
tawarin kelas aksel.
Saat membacanya
sms itu, aku bingung. Mana mungkin Liliana dapat peringkat 1. Dengan nilai yang
sempurna lagi?. ini mustahil! Sangat mustahil. Fanny dan Fiola kan pernah
bilang kalau Liliana itu masuk ke SMA ini saja pakai bina lingkungan. Dan dia
juga murid yang bodoh!. Tapi kenapa aku bisa kalah sama dia?
Ah aku bingung!
Tapi bisa saja sih dia menjadi pintar, kata Bunda di dunia ini tidak ada yang
mustahil. Jadi kan bisa saja dia tiba-tiba pintar. Tapi entah kenapa aku masih
menganggap ini mustahil.
“non..? non
Killa..? non kok disini? Tadi mang cari di sekolah tapi kata temen non, non itu
tiba-tiba lari nggak jelas. Udah yuk non kita pulang.” Ucap mang Udin yang melihatku
bengong di pinggir jalan.
Akupun masuk ke
dalam mobil. Aku jadi takut. Apa yang akan di katakan Bunda jika anak
tunggalnya tidak naik kelas.
“kakk Killa!!!”
teriak Tiara saat aku datang.
“kak Killa udah
tepatin janji? Kan kakak pernah bilang kalau kakak akan mendapat peringkat 1 di
kelas tahun ini? Coba aku lihat” tanya Tiara kecentilan.
“mana rapormu
Killa?” tanya Bunda. Kini aku semakin takut.
“ahh! Ini dia
Bunda!!” ucap Tiara yang ternyata mengambil raporku dari dalam tasku.
“Tiara!!”
teriakku mencegah Tiara memberikannya kepada Bunda. Namun Bunda langsung
mengambilnya. Kini aku pasrah dengan dunia yang begitu kejam denganku.
“Killa??!!!! Kamu
tinggal kelas nak?! Bagaimana bisa?!” teriak Bunda yang tidak percaya dengan
kenyataan itu. Sehingga semua pembantuku menoleh.
“hiks... hiks...
Kii.. illaa ngg... ggakk tt.. aauu... Buunn... da... Kii... illaa...”
“sudah! Kenapa
kamu menangis?! Seharusnya kamu tau! Ini balasan karena selama ini kamu tidak
mau mendengarkan kata Bunda! Bunda kecewa denganmu nak! Kecewa bukan karena
kamu tinggal kelas, tapi karena selama ini kamu tidak pernah mempedulikan
Bunda!!” ucap Bunda sambil mendorongku.
“sudah nyonya!
Sudah! Kasian nak Killa” ucap bi Inah membelaku.
“kamu itu hanya
pembantu disini!! Tidak usah ikut campur!!”
Aku langsung
berlari ke kamar. Ku kemasi semua barang-barangku ke koper yang dulu pernah
ayah pakai. Aku keluar sambil menangis dan berniat meninggalkan rumahku yang
selama ini menjadi bagian hidupku.
“akuu....aa..kan..tun..jukkan...ke..paddaa..Buunn..daa..kaalaauuu..akuu...sss..ay..ang...Bun..da..”
aku lalu pergi tanpa tau akan kemana. Ku dengar bi Inah menangisiku. Kenapa bi
Inah yang menangisiku saat aku pergi? Kenapa bukan Bunda? Ayah!!! Aku
benar-benar membutuhkan ayah!!
Kini, aku bingung
akan pergi kemana. Aku ingat, aku masih membawa laptop dan handphoneku. Ya
setidaknya aku membawa alat-alat itu untuk menghubungi seseorang jika perlu.
Aku juga membawa diaryku dan kalung berlian pemberian Ayah dan Bunda sejak aku
masih kecil.
Sampai jam 10
malam, aku sms Elin, Fanny dan Fiola untuk menanyakan keberadaan mereka.
Namun apa yang
mereka katakan? Elin bilang bahwa dia akan pergi ke Kalimantan untuk liburan.
Sedangkan Fanny dan Fiola akan berangkat ke Jakarta besok dengan tujuan yang
sama.
Ya tuhan, aku
juga ingin seperti mereka, andai saja Bunda memaklumi nasibku. Tapi mustahil
sekali ada anak yang bersenang-senang dengan nasibnya yang tidak naik kelas.
Akhirnya,
kuputuskan untuk mencari tempat kos yang dekat dengan wilayah sekolahku.
“750 ribu per bulan
dek. Gimana?” jawab ibu kos saat ku tanyai biayanya.
“mmm... nggak deh
bu, makasi ya.” Akupun pergi, menurutku itu terlalu mahal.
“500 ribu dek
kalau per bulan. Gimana? Apa adek mau?” ujar ibu kos di tempat lain. Setelah
aku pikir-pikir, akhirnya ku terima.
Di dalam kamar
kos, tidak ada AC, TV, sofa biruku, meja belajarku yang luas, tempat tidurku
yang empuk semuanya tidak ada. Kini aku akan hidup dalam kesederhanaan. Ini
lebih baik daripada aku hidup mewah namun tersiksa oleh perlakuan orang-orang
yang membenciku.
2 minggu
beralu...
Pagi ini adalah
saatnya untuk kembali sekolah. Namun statusku tetap menjadi anak kelas 1 SMA.
Bukan menjadi anak kelas 2 SMA seperti teman-temanku.
Pagi ini aku
berangkat dengan naik sepeda. Sebenarnya saat aku kabur dari rumah, aku tidak
membawa sepedaku. Namun bi Inah pernah melihatku di tempat kos ini, jadi dia
membawakanku sedikit uang dan sepedaku.
“hey lihat adik
kelas kita itu! Dia naik sepeda!! Hahaha!!” ku dengar suara Liliana
menertawakanku. Aku tidak mau bertengkar dengannya. Kini aku sudah sadar kalau
dia adalah kakak kelasku.
“Killa...” ku
dengar suara Elin.
“oh, hai Elin.
Gimana sekarang rasanya jadi kakak kelas? Pasti menyenangkan. Oh iya maafkan
aku, seharusnya aku memanggilmu dengan sebutan ‘kak’ sorry ya.”
Tiba-tiba Elin
memelukku. “Killa kamu jangan kaya gitu, kita ini sahabat. Kamu nggak perlu
panggil aku dengan sebutan aneh itu. Kamu tetap sahabatku Killa.” Elin
mengucapkan kata-kata itu seperti tidak mau kehilanganku.
Saat di
kelas.....
“hai!” sapa seseorang
di sampingku. Sepertinya dia anak baru disini.
“oh, hai juga!”
jawabku.
“kok kemarin aku
nggak lihat kamu sih waktu MOS? Oh iya, perkenalkan aku Latifa Hadatin. Panggil
saja aku Datin.”
“hai Datin! Aku
Sakilla Kirana, nama panggilanku Killa.”
“namamu sangat
bagus Killa!”
“namamu juga
lebih bagus Datin.”
“terima kasih.
Tadi kamu belum jawab pertanyaanku. Kamu kenapa tidak ikut MOS? Kamu dari SMP
mana?”
“aku... kemarin
aku demam jadi tidak bisa ikut MOS. Dan aku dari SMP Kesuma 1.”
“ku dengar itu
kan SMP favorit. Wah berarti kamu memang cocok sekolah disini.”
“makasi, kamu
dari SMP mana?”
“aduh, tapi kamu
jangan ketawa ya. Aku dari SMP 12 yang di pojokan desa itu. Aku akui itu memang
SMP yang jelek tapi aku bangga bisa masuk SMA disini.”
Ternyata Datin ini
adalah orang desa. Pantas saja bicaranya sopan sekali dan gayanya sangat
berbeda dengan yang lainnya.
Setelah itu
gurupun masuk. Rasanya seperti pertama aku masuk dulu.
Saat pulang....
“hai Killa! Lho?
Kamu pulang pakai sepeda?” sapa Datin melihatku masuk ke tempat parkir.
“hai Datin, aku
memang naik sepeda. Kenapa?”
“wah, maaf kalau
kamu tersinggung. Aku kira kamu itu di jemput pakai mobil. Kalau kamu naik
sepeda, kita pulang bersama saja!”
“boleh, yuk!”
Akhirnya akupun
pulang bersama Datin.
“rumah kamu dimana
Killa? Pasti rumahmu besar ya?!” tanya Datin yang masih penasaran denganku.
“ah kamu ini
ada-ada saja!” jawabku.
“ceritakan saja,
aku kan pengen kapan-kapan main ke rumahmu.”
“nanti saja ku
ceritakan. Kamu saja yang duluan cerita. Oh ya, untuk kali ini, boleh tidak aku
main ke rumahmu?”
“aduh kamu ini
kan sudah punya rumah bagus, seharusnya kamu nggak perlu main ke rumah orang
apalagi rumah orang itu jelek.”
“aduh Datin, apa
salah kalau aku cuma mau jadi teman baik sehingga harus mengenalmu lebih jauh.”
“ya sudah Killa,
terserah kamu saja. Tapi kamu jangan menyesal ya mampir ke rumahku. Rumahku itu
kecil. Tapi menurutku, kelebihan rumahku itu adalah halaman dalam dan luarnya
yang bersih. Aku dan Ibu selalu bekerja sama untuk membersihkan rumah. Kata
Ibuku, walaupun rumahku kecil, kita akan tetap merasa nyaman jika lingkungannya
bersih.”
Aku terdiam
mendengarnya. Selama ini yang memiliki tanggung jawab membersihkan rumah adalah
pembantu-pembantuku. Tapi Datin, dengan kehidupannya yang kurang, ia bisa
bekerja sama dengan Ibunya agar kehidupannya bahagia. Aku saja yang sudah hidup
mewah, tetap saja merasa kurang.
“hai?? Haii? Killa!!”
“eh.. kenapa?”
“kok jadi bengong sih?”
“nggak papa kok. Oh iya,
kamu nggak tinggal sama ayahmu? Ayahmu kemana?”
“sebenarnya ayah dan ibuku
cerai saat umurku masih 4 tahun dan saat kakakku berumur 7 tahun. Nama kakakku
Mala. Ibu memilih mengajakku dan ayah memilih mengajak Mala untuk tinggal
bersamanya. Aku sangat rindu dengan mereka.”
“mm... maaf ya kalau
pertanyaanku membuat kamu sedih.”
“nggak apa apa. Oh iya,
udah sampai di rumahku nih!”
Akupun masuk ke rumah
Datin. Yang dikatakan Datin ternyata memang benar, rumahnya sangat bersih.
“Umi, Datin udah pulang
mi” teriak Datin.
“Umi?” tanyaku.
“ya, tadi aku tidak sempat
bilang kalau aku memanggil ibuku dengan sebutan Umi.” Jelas Datin.
“Umi!!” teriak Datin
sekali lagi.
“apa kamu yakin Ibumu ada
di rumah?” tanyaku kepada Datin.
“ku rasa tidak, pasti dia
sedang di sawah atau nggak lagi nyari pesanan baju yang akan di jahit atau di
cuci ke rumah warga.” Ternyata ibunya bekerja seperti itu.
“kalau begitu apa ibumu
menitipkan kunci rumah?”
“rumah ini terkunci dari
dalam. Cara membuka kunci dari dalam itu lewat papan ini.” Datin langsung
memasukkan tangan kanannya ke lubang yang di maksud. Papan itu bewarna sangat
sama seperti dinding lainnya. Mungkin itu cara orang desa jika tidak memiliki
kunci rumah.
“kalau begitu kenapa kamu
tidak membuka pintu ini dari tadi? Kan kamu tau cara membukanya.” Tanyaku lagi.
“itu kan tidak sopan. Umi
pasti marah kalau aku membuka pintu tanpa permisi terlebih dahulu.” Aku
terkagum-kagum mendengar Datin mengucapkan kata-kata itu.
“kamu hebat Datin.”
Pujiku kepada Datin.
“kamu yang lebih hebat
Killa. Dibandingkan dengan aku, seperti bumi dan langit.” Jawabnya lagi.
“memangnya kenapa? Kok
kamu bilang begitu?”
“tentu saja. Kamu itu
orang yang kaya dan bijaksana. Sedangkan aku, orang miskin dan kampungan.”
“tapi aku kagum dengan
sifatmu.”
“ya, terima kasih kalau
begitu.”
Setelah itu Datin mengganti
bajunya dan membawakanku segelas air putih.
“Datin, aku mau curhat
sama kamu.” Ucapku mengawali pembicaraan.
“curhat? Mm... curhat itu artinya
menceritakan sesuatu ya?” tanya Datin bingung.
“iya,”
“oh, maaf. Aku baru mendengar
kata-kata itu.”
“nggak papa.”
“ya sudah, sekarang kamu mulai
cerita.”
“aku merasa kurang bahagia dengan
hidupku.” Keluhku mulai menceritakan kepada Datin.
“kenapa?”
“rasanya tidak ada yang peduli
denganku.”
“memangnya siapa? Dan kenapa?”
“aku punya Bunda yang hanya
peduli dengan adik tiriku. Sedangkan aku tidak di pedulikan dan dia
membiarkanku begitu saja saat aku nekat pergi dari rumah. Ayahku sebenarnya
sudah meninggal. Dia sosok yang sangat ku rindukan. Aku rindu kasih sayang
Bundaku, Ayahku, teman-temanku... aku sangat rindu masa kecilku..” ucapku
sambil sedikit meneteskan air mata.
“seharusnya kamu bahagia..
menurutku banyak yang peduli denganmu. Sejak kecil kamu sudah merasakan kasih
sayang ibumu, ayahmu. Sedangkan aku, sejak kecil aku sudah memiliki nasib
malang sampai sekarang.”
Aku langsung memeluk Datin. Dia
adalah orang yang memberiku semangat ketika aku putus asa. Dia sangat mengerti
aku. Tidak seperti temanku yang lain yang hanya berkata “sabar ya Killa” saat
aku putus asa.
“Killa, kamu jangan nangis
seperti itu. Kita arahkan saja pembicaraan ini, ke hal-hal yang menyenangkan.
Kata Umi itu lebih baik daripada menghabiskan air mata.” Ucap Datin.
“iya... aku tersenyum Datin”
“nah, itu lebih baik.”
“Datinn..”
“iya”
Aku boleh minta tolong nggak?”
“tentu saja.”
“selama ini aku tinggal di sebuah
kos-kosan. Aku harus membayarnya disana setiap bulan. Ku yakin aku pasti tidak
sanggup membayarnya untuk kebutuhan hidupku selamanya. Aku minta tolong,
bolehkah aku tinggal di rumahmu? Kalau kamu mau, aku akan membantu kehidupanmu
dan ibumu.”
“tentu saja aku memperbolehkan.
Aku pasti tidak kesepian lagi.”
“terima kasih Datin.”
“kalau begitu sekarang kita ambil
barang-barangmu di tempat kos.”
“ayoo..”
Akupun pergi ke tempat kos ku
bersama Datin. Saat sampai di rumah Datin. Ternyata pintunya terbuka lebar, itu
tandanya ibunya Datin sudah kembali ke rumah.
“Umii!!” teriak Datin memanggil
ibunya.
“Datin, kamu kemana tadi? Kok
bawa barang-barang mewah ini?”
“ini barang-barang bukan punyaku,
tapi punyanya temanku. Namanya Killa.”
Aku langsung menyalami tangan
ibunya Datin.
“saya Killa Umi, teman sekelas
Datin di sekolah.”
“aduh cantiknya.” Puji ibunya
Datin kepadaku.
“makasi Umi.” Jawabku.
“umi, boleh tidak Killa tinggal
bersama kita di rumah ini?” ucap Datin.
“pasti boleh. Tapi kenapa nak
Killa ini mau tinggal di rumah ini? Rumah ini kan kecil. Dan pastinya rumah nak
Killa di kota itu sangat besar.” Tanya ibunya Datin kepadaku.
“aduh umi, nanti saja kalau mau
bertanya. Yang penting sekarang umi bantu-bantu membersihkan kamar barunya
Killa.”
“umi tidak bisa Datin, kerjaan umi
masih menumpuk. Maaf ya nak Killa, umi tidak bisa bantu. Nanti umi janji akan
buatkan masakan yang enak untuk nak Killa dan Datin.”
“nggak papa kok umi. Killa
ngerti.”
Akupun langsung membereskan kamar
baruku. Kamar yang sangat sederhana.
Malamnya aku makan bersama Datin
dan ibunya.
“Killa, bisa kamu ceritakan
sedikit tentang masalah kamu. Maaf kalau umi bilang begini.” Tanya ibunya Datin
kepadaku.
“ceritanya sangat panjang.
Sebelumnya aku minta maaf Datin, aku bohong sama kamu. Sebenarnya aku tidak
ikut MOS bukan karena demam, melainkan karena tahun kemarin aku tidak naik
kelas” jelasku sambil menunduk malu.
“yang benar saja? Tapi aku
mengerti perasaan kamu kok kalau tadi kamu menceritakan yang sebenarnya.” Ucap
Datin.
“terima kasih Datin.”
“iya, sekarang lanjutkan apa yang
mau kamu ceritakan.”
“aku memang dari keluarga kaya,
aku anak tunggal dari ibu Rosalina dan Alm. Prof. Heriyanto . semuanya berawal
pada saat Bunda mengangkat seorang anak kecil yang ternyata akan menjadi adik
tiriku yang sangat menyebalkan. Namanya Tiara. Saat Tiara menjadi anggota
keluargaku, semuanya berubah. Satu hal yang berubah akibat Tiara yang sangat ku
benci adalah Tiara merebut perhatian Bunda dariku. Ia membuat Bunda tidak
percaya lagi kepadaku. Dia selalu mengusik kesenanganku bahkan bisa dikatakan
Tiara adalah parasit untukku. Jika kuceritakan kepada Bunda, Bunda tidak akan
mendengarkannya. Kemarin saja saat aku diketahui tidak naik kelas, Bunda dengan
tega mengusirku, anak kandungnya sendiri. Oleh sebab itu kini aku pergi tanpa
tujuan.” Jelasku panjang lebar.
“aku bisa membayangkan bagaimana
liciknya adik tirimu itu.” ucap Datin.
“lalu, kapan nak Killa akan
kembali ke rumah yang asli?” tanya umi.
“belum tau.”
“yang sabar saja ya nak Killa.”
“iya umi”
“uhuk! Uhuk!! Aduh Datin, umi mau
ke kamar dulu. Tolong ambilkan obat umi di meja depan.” Ucap umi sambil
terbatuk-batuk.
“ini umi, minum obatnya.
Sepertinya umi kelelahan. Seharusnya umi berhenti bekerja kalau sudah lelah.
Nanti biar aku yang menggantikan umi.” Ucap Datin.
“iya, maafkan umi sudah buat kamu
gelisah. Tapi untuk kali ini umi pusing sekali. Umi mau istirahat.”
“iya, memang sebaiknya umi
istirahat.”
Aku dan Datin lalu keluar dari
kamar umi. Malam ini, aku tidak langsung tidur di kamarku, melainkan menemani
Datin di kamarnya.
“lho Killa? Kok belum tidur?
Kenapa? Nggak nyaman ya karena tempatnya? Maaf ya Killa kalau kamar yang aku
sediakan tidak seperti kamarmu di kota.” Ucap Datin melihatku belum tidur.
“nggak papa kok, aku Cuma belum
ngantuk aja. Oiya, kamu rajin sekali belajar, pantas saja bisa masuk SMA
favorit. Emm... sebenarnya aku minta maaf, karena ada aku, ibumu jadi harus
mencari nafkah lebih banyak sampai sakit-sakitan. Maafkan aku ya. Aku janji
akan membantumu dan ibumu mencari nafkah.”
“iya, umi memang sering
sakit-sakitan. Sepertinya dia punya penyakit yang selalu membuatnya kelelahan.”
“kenapa tidak dibawa ke dokter
saja?”
“umi tidak mau, katanya takut
nanti biayanya banyak.”
Akupun mengobrol sampai jam
menunjukkan pukul 10 malam.
***
Paginya, sekitar jam 3 malam, ku
dengar suara yang lumayan berisik sehingga membuatku bangun. Saat keluar,
ternyata Datin sudah bangun sambil menyiapkan alat-alat yang entah untuk apa.
“lho kok kamu bangun sih? Maaf ya
kalau aku berisik.” Ucap Datin melihatku bangun.
“nggak papa kok. Kamu mau
kemana?” ucapku yang masih ngantuk.
“mau cari kodok sawah untuk di
jual umi besok pagi.”
Aku berpikir sejenak. kalau aku
tidak membantu, itu tidak baik karena sekarang aku menumpang di rumahnya. Tapi
rasanya tidak mungkin karena aku ngantuk sekali. Emm... ya sudahlah aku bantu
saja, tadi malam kan aku berjanji mau membantu mencari nafkah.
“Killa kok bengong? Ngantuk ya?
Sudah gih kamu tidur aja, aku juga mau berangkat kok.”
“tunggu dulu Datin jangan
berangkat, aku mau ikut!”
Akupun langsung bergegas
mengambil jaket dan sendalku.
“ayo kita berangkat.”
“kamu yakin mau ikut? Nggak takut
besok ngantuk di sekolah?”
“mau nggak mau ya harus ikut, aku
kan harus bantu kamu cari nafkah. Lagipula biar aku lebih biasa bangun pagi.”
“ya sudah”
Kamipun berangkat ke sawah yang
tidak jauh dari rumah Datin.
Saat sampai di sawah..
“gelap banget” ucapku.
“namanya juga masih malam, ya
jelas gelap. Ya udah, kamu berani pegang kodok nggak?” ujar Datin.
“berani sedikit.”
“itu sih namanya belum berani.
Kalo gitu kamu bantu aku bawa senter ini.”
“iya deh, lumayan gampang.”
“tapi sendal kamu di lepas dulu”
“aduh males juga sih, tapi iya
deh daripada nanti sendalku tenggelam di lumpur.”
Setelah itu, aku dan Datin
langsung mencari kodok sawah. Ternyata sangat sulit berjalan di atas lumpur.
Tapi kulihat Datin seperti sudah terbiasa. Setelah selesai mencari kodok sawah
sekitar jam 5 pagi, kamipun pulang.
Saat sampai di rumah...
“wah capek juga ya!” ujarku.
“kalau gitu kamu istirahat aja
dulu, lagipula masih jam 5.”
“ntar dulu deh! Oiya! Kita dapat
berapa kodok?”
“lumayan, ada 9 kodok!”
“wah iya, banyak juga tuh. Kalo
dijual satu ekor berapa?”
“biasanya kalo besar Cuma dua
ribu. Yang kecil seribu.”
“kok murah banget sih? Emm.. aku
punya ide!”
“ide apa?”
“gimana kalo kita pelihara kodok
di belakang rumah?”
“dari dulu sih maunya gitu, tapi
tanah ini bukan milik umi.”
“jadi rumah ini rumah sewaan?”
“iya.”
“berapa bayarnya?”
“tiga puluh ribu per bulan”
“kenapa tidak bilang dari tadi.
Nanti kita beli saja tanah ini, pakai uangku di bank.”
“kamu yakin?”
“tentu, ini kan akan menjadi
rumahku.”
“makasi ya Killa.”
“iya Datin. Kalau begitu nanti
sepulang sekolah kamu antar aku ke rumah lamaku. ATM ku masih tertinggal di
kamarku.”
“iya”
Saat sepulang sekolah, aku
langsung menelpon bi Inah. Dan ternyata tidak ada siapa-siapa di rumah. Ingin
rasanya aku bertemu Bunda, tapi seperti biasa ia bersenang-senang dengan
parasit itu.
“bi Inah!!” teriakku sambil melambai-lambaikan
kepada bi Inah. Bi Inah langsung keluar dan membukakan pintu untukku.
“ya ampun non, bibi kangen banget
sama non. Non mau tinggal disini lagi kan?” ucap bi Inah kepadaku.
“maaf ya bi, untuk kali ini aku
cuma mau ambil ATM aku yang ketinggalan di kamar. Kamar aku nggak ada yang pake
kan?”
“kamar non sekarang di jadikan
tempat latihan musik non Tiara.”
“ya udah deh, lemari aku yang
biru itu dimana?”
“kalo lemari non ada di gudang,
ayo ikut bibi.”
Akupun pergi ke gudang, sedih
rasanya saat masuk ke rumah lamaku. Rumah tempatku bercanda tawa bersama Bunda
dan Ayah ketika masih kecil.
“ini non lemarinya.” Ucap bi Inah
menunjuk lemari biruku.
“rumah kamu bagus banget Killa,
kalo aku jadi kamu, aku nggak akan ninggalin rumah sebagus ini.” Ucap Datin
setelah dari tadi bengong melihat rumah lamaku.
“kamu ini ada-ada saja. Oiya bi,
kenalin ini Datin teman baru ku”
“iyaa, saya bi Inah pembantunya
non Killa.”
“aku Datin.”
“nah ini dia ketemu ATMnya. Ya
udah bi, makasi ya. Aku mau balik dulu ke rumah.”
“iya non, sering-sering mampir
kesini ya.”
“pasti bi, daa bibi!!”
Akupun kembali ke rumah. Setelah
selesai makan aku mengajak Datin pergi ke ATM.
“berapa harga tanah itu Datin?”
“mungkin lumayan murah untukmu, tanah
itu kan sempit.”
“oke, aku periksa dulu uangku
berapa, kemarin sih masih banyak.”
Saat ku periksa, ternyata uangku
sedikit sekali. Pasti Tiara yang mengambilnya sebagian.
“Datin, ayo kita pulang, aku
sudah selesai.” Ucapku.
“ayo!”
Saat sampai di rumah, terlihat
sangat ramai.
“astaga! Itu pasti orang yang mau
menyita rumahku!” teriak Datin.
Akupun langsung berlari menuju
orang yang memarah-marahi umi.
“woy!! Sombong banget sih lo!”
ucapku membentak orang itu.
“siapa kamu?! Beraninya
membentakku!” balasnya dengan tegas yang membuatku ketakutan. Tapi aku berusaha
berani.
“lo nggak perlu tau siapa gue!
Sekarang gue mau tanya, berapa harga tanah ini! Gue bakalan beli!”
“tanah yang sempit ini?! 8 juta!”
“mahal sekali! Ini tidak adil!”
“tentu saja mahal! Apa kau tau?
Si tua ini sudah berhutang lebih dari satu juta denganku!”
“oke! Nggak masalah! Gue lunasin,
nih! Lo makan tu uang!”
Orang itu lalu tersenyum kecut
dan menyuruh anak buahnya kembali pulang.
Umipun langsung menangis.
“sudahlah umi, umi kenapa
nangis?”
“umi bingung nak, untuk membayar
hutang lebih dari satu juta saja umi tidak sanggup apalagi sampai 8 juta”
“maksud umi?”
“umi nggak bisa bayar hutang umi
di Killa.”
“ya ampun umi, Killa ikhlas kok.
Umi nggak usah bingung. Sekarang tanah ini milik kita.” Ucapku menambahkan.
Kamipun berpelukan.
setelah empat bulan lebih aku
tinggal di rumah sederhana ini, aku sangat senang. Disini aku dapat bebas
bercanda tawa, bermain dan tidak pernah larut dalam kesedihan. Prestasiku di
sekolah juga sangat bagus. Hanya saja aku dan Datin sering bermasalah dalam
pembayaran SPP dan lain sebagainya. Tapi aku dan Datin menanggapinya dengan
santai sehingga kami dapat melunasinya setiap bulan. Modalku dan Datin adalah
kodok-kodok di belakang rumah. Aku juga berpikiran akan berternak ikan hias,
dan yang lainnya.
Dear Diary
4 bulan lebih aku tinggal di
rumah Datin. Rumah yang sederhana tapi penuh keceriaan. membicarakan tentang
rumah, aku jadi teringat rumah lamaku. Aku jadi teringat Bunda. Ku akui, aku sering
kasar kepada Bunda, ku akui aku sering terbawa emosi, tapi apakah Bunda tau?
Aku sangat menyayanginya. Semenjak ayah tidak ada, aku ingin mendapatkan
perhatian dari Bunda. Ku harap suatu hari nanti aku bisa bertemu dengan Bunda.
Writer, Killa
Hari ini ku jalani seperti biasa.
Mengerjakan tugas, mengurus kodok, dan yang lainnya. Tapi tiba-tiba...
“Killa!” teriak Datin
memanggilku.
“kenapa?!”
“umi masuk rumah sakit, tadi dia
pingsan waktu jualan kue, dia juga mimisan darah.”
“rumah sakit mana?”
“rumah sakit kota.”
“ya sudah ayo kita kesana!”
Aku dan Datin langsung pergi ke
rumah sakit menggunakan sepeda, memang sangat mustahil akan sampai tepat waktu.
Saat sampai di rumah sakit, aku
langsung menanyakan kamar umi. Kamipun sampai dan menunggu dengan sangat cemas.
Hingga dokter yang memeriksa umi keluar dari kamar.
“dok, ibu saya kenapa?” ucap
Datin.
“berdasarkan hasil pemeriksaan,
ibu anda pernah menjadi pendonor ginjal. dan sekarang ia memiliki satu ginjal
yang tidak sehat. Saya rasa dia harus segera mendapatkan donor ginjal.” jelas
dokter.
“saya akan menjadi pendonornya
dok. Periksa ginjal saya.” Ucap Datin.
“baiklah, ikut saya.”
Setelah beberapa menit, dokter
itu datang lagi.
“maaf sekali dik, hasil
pemeriksaan menyatakan kalau ginjal adik tidak cocok.” Ucap dokter.
Datin langsung menangis, ia tidak
dapat menerima kenyataan ini.
“dok, periksa ginjal saya.”
Ucapku. Aku sangat mengerti perasaan Datin. Dia pasti tidak mau kehilangan
ibunya yang sangat ia sayangi.
“Killa....?”
“tenang Datin, kamu harus tenang.
Berdoalah agar hasil pemeriksaan cocok.”
Akupun pergi ke ruang
pemeriksaan. Setelah menunggu, dokter itu datang.
“berdasarkan hasil pemeriksaan,
ginjal adik ini cocok.” Ucap dokter.
“benarkah? Kalau begitu sekarang
juga saya akan mendonorkan ginjal saya.”
“Killa? Kamu yakin?” Datin
menambahkan.
“kamu tenang saja, aku akan
baik-baik saja.”
Akupun mendonorkan ginjalku
kepada umi. Orang yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Senang rasanya
dapat menyelamatkan nyawa orang yang begitu berjasa kepadaku.
Setelah selesai...
“umii...”
“Datinn...”
Kedua orang itupun berpelukan.
Tak terasa air mataku menetes, andai saja kali ini Bunda memelukku seperti itu.
“Killa? Kenapa diam disana? Ayo
kesini nak.”
Akupun memeluk umi.
“umi, apa umi tau? Yang
mendonorkan ginjalnya untuk umi itu Killa.” Ucap Datin.
“benarkah itu nak?”
Akupun menggangguk.
“ya ampun nak, suci sekali
hatimu. Kenapa kamu mendonorkan ginjalmu untuk umi? Kamu tau, hidup dengan satu
ginjal itu sangat sulit.”
“nggak papa umi, aku senang sudah
bisa bantu umi.”
Setelah itu, kamipun merundingkan
bagaimana cara membayar di rumah sakit.
“umi, Datin nggak punya uang
banyak. Datin bingung.”
“Datin, aku kan punya laptop dan
handphone yang masih bagus, kita jual saja barang itu. Nanti kalau kurang, kita
cari lagi.” ucapku.
“nggak mungkin Killa, kamu kan
sudah mendonorkan ginjalmu, masa sekarang kamu juga yang berkorban.”
“nggak papa kok, aku ikhlas.”
“makasi ya Killa, kamu sudah baik
sekali sama keluargaku.”
“keluargamu adalah keluargaku
juga.”
Akupun menjual barang-barangku.
Ternyata masih kurang.
“Killa, bagaimana ini? Uangnya
masih kurang.”
“emm... kita minta bantuan saja
dulu ke teman-temanku. Nanti kita bayar sewaktu-waktu. Mereka pasti mengerti
kok.”
Aku dan Datin lalu pergi ke rumah
Elin.
“Killa... ya ampun aku kangen
banget sama kamu.” Ucap Elin melihatku datang ke rumahnya.
“aku juga kangen, tapi kali ini
aku lagi punya masalah.”
“masalah apa?”
“aku mau membantu temanku untuk
membayar biaya ibunya di rumah sakit. Aku sudah menjual laptop dan handphoneku
tapi ternyata masih kurang.”
“tunggu disini.”
Elin lalu masuk ke dalam
rumahnya. Tak lama kemudian dia kembali.
“ini, ambil celenganku. Dan ini
juga, uang dari ibuku.”
“ibumu? Kenapa dia tidak keluar?”
“ibuku sedang sakit, aku mengerti
kok perasaan temanmu. Ini ambilah.”
“makasi ya Elin, nanti aku pasti
akan menggantinya.”
“iya Killa.”
Akupun kembali pulang. Saat di
hitung, ternyata uangnya cukup. Kamipun langsung membayarnya dan membawa umi
pulang ke rumah.
Di rumah, umi dan Datin terus
berterima kasih kepadaku. Aku sangat mengerti mereka. Mereka sudah kuanggap
sebagai keluargaku.
Malamnya, kulihat mereka dapat
tidur dengan nyenyak. Aku sangat senang, mungkin karena semua masalah sudah
terselesaikan. Akupun ikut larut dalam dinginnya malam.
Paginya, Aku kembali melakukan
aktifitas seperti biasanya.
Tak terasa, sebentar lagi adalah
ujian umum kenaikan kelas. Aku dan Datin sangat ingin masuk kelas akselerasi
yaitu kelas orang-orang pintar. Ya, walaupun aku dan Datin hidup sederhana,
tapi kami sangat yakin karena kami tidak ingin menyusahkan umi. Aku juga ingin
membuktikan kepada Bunda bahwa aku bisa menjadi lebih baik dari yang dulu.
Hari ini adalah hari pertama
ujian umum kenaikan kelas. Aku sangat berhati-hati dalam mengerjakan soal
ulangan.
1 minggu kemudian...
Di sekolah..
“huh!! Akhirnya selesai juga
ulangannya.” Ucapku.
“iya, sekarang kita bisa
beristirahat.” Balas Datin.
“eh, anterin aku ke toilet dong.”
“ayo,”
Saat melewati ruang guru, aku
ditahan oleh Bu Hani.
“kamu Sakilla Kirana yang pernah
tinggal kelas itu kan?” ucap bu Hani dengan suara tegasnya.
“i..iya, saya bu. Ada apa ya?”
jawabku gugup.
“kamu dipanggil ke ruang kepala
sekolah sekarang!”
“mm,, baik buk!!”
Akupun menarik tangan Datin untuk
ikut denganku. Pada saat sampai di depan ruang kepala sekolah..
“Datin, kamu tunggu aku disini
ya!” ucapku.
“iya.”
Akupun masuk ke ruang kepala
sekolah, perasaanku jadi resah. Apakah aku punya kesalahan lagi? ternyata di
ruang kepala sekolah ada Liliana juga.
“permisi pak. Apa bapak memanggil
saya?” ucapku gugup.
“kamu Sakilla Kirana?”
“benar pak.”
“duduk disini.”
Akupun duduk di samping Liliana.
Dia sempat melihatku tapi aku tidak berani menatapnya.
“apa benar kamu pernah tinggal
kelas? Sakilla?”
“iya pak.”
“baik, dan untuk Liliana, apa
benar pada saat kenaikan kelas kemarin, anda pernah di tawari kelas akselerasi
dan anda menolaknya?”
“iya pak.”
“baiklah, sebenarnya, ada masalah
pada saat kenaikan kelas kemarin dan pihak sekolah baru mengetahuinya sekarang.
Entah siapa yang melakukannya, tapi orang itu telah membuat semuanya salah
paham. Nak Sakilla dan nak Liliana, rapor kalian pernah tertukar tahun lalu.”
Sontak akupun kaget. Tapi kulihat
Liliana tidak kaget dan hanya menundukkan kepalanya. Aku tetap tidak mau angkat
bicara.
“jadi, keputusan saya sekarang
adalah, pada saat kenaikan kelas tahun ini, kalian akan mendahului pengambilan
rapornya. Dan, kalian akan bertukar posisi. Sakilla akan masuk kelas akselerasi
dengan pembelajaran yang lebih cepat agar tahun berikutnya dapat langsung
mengikuti Ujian Nasional. Karena saya pikir, jika Sakilla ini langsung naik ke
kelas 3, saya tidak yakin anda bisa beradaptasi karena belum mempelajari
pelajaran kelas 2. Jadi, apa nak Sakilla bisa menerima keputusan saya?”
“iya pak, saya akan mencobanya.”
Jawabku.
“baiklah, untuk Liliana, tahun berikutnya
kamu akan tinggal kelas yaitu tetap di kelasmu sekarang. Apa keputusan saya
bisa di terima?”
Kulihat Liliana hanya menggangguk
dan tidak berani mengangkat kepalanya.
“baiklah, untuk keputusan saya
selanjutnya akan di bicarakan dengan orangtua masing-masing. Sekarang kalian
berdua bisa kembali ke kelas. Terima kasih.”
Akupun bersalaman dengan kepala
sekolah lalu keluar dari ruangan.
“Datin!!” teriakku memanggil
Datin.
“oh, hai Killa! Udah selesai ya?”
“iya”
“tadi kepala sekolah bilang apa?”
“sudah, nanti saja ku ceritakan
di rumah. Kita balik ke kelas aja dulu.”
“oke, nggak jadi ke toilet?”
“udahlah, mood ku hilang.”
“haha..”
Aku dan Datin lalu kembali ke
kelas.
Di rumah...
“ayo Killa, cerita dong.” ujar
Datin.
“iyaiya!” akupun menceritakan
semuanya kepada Datin. Dia sempat terbengong mendengar ceritaku.
“Liliana anak berambut sebahu
yang sombong itu ya?” ucap Datin selesai mendengar ceritaku.
“yupp!”
“yah, dia kena karmanya tuh!”
Akupun tertawa bersama Datin. Aku
jadi teringat Bunda. dulu kan Bunda pernah salah paham sehingga mengusirku. Aku
akan bertekad mengunjungi Bunda, aku sangat merindukan Bunda.
Dear, Diary
Lama aku tidak menulis di diary
ini..
Diary.. aku sekarang mengetahui
semua yang terjadi dulu. Ternyata raporku dan Liliana pernah tertukar dan
seharusnya pada saat itu aku bisa membanggakan Bunda karena seharusnya aku
ditawari kelas akselerasi. Tapi apa daya, ini semua sudah takdir tuhan. Aku
yakin, semua ini akan berakhir bahagia.
Writter, Killa
Setelah menulis di diary,
kurasakan kepalaku sangat pusing. Akupun beranjak ke tempat tidur dan terlelap.
4 hari kemudian..
tok.. tok..!
“iya, sebentar.”
Akupun membukakan pintu. Ternyata
Datin dan umi.
“lho, umi kok bisa sama Datin?”
“iya tadi ketemu di jalan. Umi
lagi pengen pulang, mau lihat hasil rapornya Datin.” Ucap umi. Datin hanya
tersenyum.
Kamipun berkumpul di ruang
keluarga.
“umi, aku peringkat 1 di kelas!”
ujar Datin.
“wah hebat! Coba umi lihat.”
Kulihat umi dan Datin tersenyum
dan berpelukan.
“lho Killa? Kenapa diam disana?
Ayo kesini!” ucap umi kepadaku.
“umi, aku punya kejutan lagi. aku
ditawari kelas akselerasi.”
“benarkah? Kamu memang hebat!”
Kami semua lalu berpelukan.
***
“Datin, aku mau keluar bentar ya.
Aku mau ke supermarket dulu.” Ucapku kepada Datin.
“aku temani?”
“tidak perlu, kamu diam saja di
rumah.”
“baiklah. Hati-hati ya.”
“iya”
Akupun pergi ke supermarket
menggunakan sepeda.
Saat keluar dari supermarket, ku
lihat seorang ibu bersama anaknya yang sepertinya ku kenal. Dia berada di pojok
tembok bangunan yang tersembunyi. Kulihat ternyata dia tengah berusaha lolos
dari perampok. Setelah kuperhatikan, ternyata dua orang itu adalah Bunda dan
Tiara! Akupun lalu berlari ke arah mereka.
“kak Killa!” teriak Tiara
melihatku. Aku tidak menghiraukannya, aku lalu menyerang perampok itu dari
belakang. Perampok itu lalu memukul pipiku. Rasanya sangat sakit. Ku dengar
Bunda berteriak meminta tolong sambil menangis. Kulihat juga Tiara berusaha
memukul perampok itu tapi ternyata Tiara malah jatuh tak berdaya. Bundapun
berusaha membantuku, tapi perampok itu tidak peduli.
Dan tiba-tiba saat aku hendak
mendorong perampok itu dengan seluruh tenagaku, kurasakan sebuah benda tajam
menusuk tepat ke arah jantungku. Spontan akupun mulai pasrah menerima apa yang
akan terjadi selanjutnya. Tiba-tiba kulihat Datin memukul kepala perampok itu
menggunakan kayu dari belakang. Setelah itu kulihat mobil-mobil polisi mulai
berdatangan untuk mengamankan perampok yang telah menganiayaku. Kulihat juga
mobil ambulance datang dan para pekerjanya memasukkanku ke dalam mobil
ambulance itu. Masih terdengar suara tangis Bunda, Tiara, dan Datin. Tapi apa
daya semuanya telah terjadi dan menimpaku.
Di rumah sakit, aku langsung di
bawa ke ruang UGD. Di ruangan itu, dokter dan perawat-perawatnya berusaha
menyadarkanku dan mengobatiku. Tapi tetap saja, aku tetap terbaring lemah dan
akhirnya aku dapat membuka mataku. Aku sadarkan diri!
Saat dokter keluar dari ruangan
untuk memberitahu apa yang terjadi padaku, Bunda, Tiara, Datin, umi dan semua
pembantuku masuk ke dalam kamar.
“Killa...!!!! maafkan Bunda
nakk!!! Maafkan Bunda..!!” ucap Bunda sambil menangis memelukku.
“kak Killa, Tiara minta maaf kak.
Tiara selalu egois sama kakak. Tapi disaat kakak nggak ada, Tiara kangen banget
kak.! Maafin Tiara kak.” Ucap Tiara, adik tiri yang selama ini ku benci
ternyata ikut menangis disaat ku tertimpa musibah.
“Killa, kamu jangan pergi ya,
kita masih pengen kamu hidup Killa. Kita semua sayang sama kamu.” Ucap umi.
Sedangkan Datin berusaha tersenyum walaupun sebenarnya air matanya sudah deras
mengalir.
“Bun..dda.. aa..kkuu,, minn..taa
ma..aff.. a..kuu ss..aa..yyanngg.. Bunn..dddaaa.. Kiill..aa ss..aaayyy..anngg..
Tii..arraaa.. Da..ttiinn... uu...mmii... Kill..aaa.. sss...aaayyyan..nggg
kkaalliiaann... ssemmuuaa....”
Tiittt.... akupun menghembuskan
nafas terakhirku diiringi tangisan orang-orang yang menyayangiku.
Ya tuhan... apakah ini akhir
hidupku? kenapa kau ambil nyawaku disaat kau pertemukan aku dengan Bunda?
kenapa kau ambil nyawaku disaat adik tiriku meminta maaf kepadaku? Kenapaa??
Aku masih ingin bahagia, layaknya anak yang lain. Aku ingin di peluk Bunda
disaat terakhir dalam hidupku. Aku ingin melihat senyuman Bunda, Tiara, Datin,
umi, sahabat-sahabatku, dan pembantu-pembantuku yang selalu setia kepadaku.
Ya tuhan.. bagaimana nanti aku
akan dikenang oleh teman-temanku? Bagaimana nanti aku akan dikenang oleh Bunda?
Tiara? Tapii.. jika memang ini kehendakmu, aku akan ikhlas menerimanya. Aku
senang, di akhir hidupku yang singkat ini, aku bisa melihat Bunda membelaiku
seperti layaknya saat aku masih kecil. Sekarang aku mengerti, betapa
berharganya hidupku ini.
Kini.. aku sedang berjalan
melewati ruangan yang putih. Di pojok sana ku lihat Ayah berdiri, dia tersenyum
kepadaku. Akupun berlari ke arah Ayah. Sekarang aku tau, semua orang selalu
menyayangiku. Ada atau tiadanya aku. Ku harap mereka mengenangku sebagai Killa
yang selalu tersenyum, tertawa, apapun yang terjadi, karena aku juga sangat
menyayangi mereka.
Bunda, andai aku di lahirkan
kembali sebagai anakmu, tidak akan ku sia-siakan waktuku bersamamu.
Aku juga ingin memiliki ayah yang
hebat sepertimu Ayah. Aku ingin memiliki teman-teman yang selalu sayang
kepadaku.
Aku juga akan sabar memiliki adik
tiri seperti Tiara. Aku tau, jauh di kenakalan Tiara, dia pasti sangat menyayangiku.
Maafkan aku jika aku pergi
terlalu cepat, maafkan aku telah membuat kalian semua sedih. Tapi ingatlah,
kalian akan selalu menjadi inspirasiku, bersama dengan jatuhnya air mata
terakhir di pipiku. Aku menyayangi kalian semua.
~THE END~
Story By : Regina Anggi Garbani